Cara beragama yang benar


Apabila ada teman-teman kita sangat mengagumi seorang ulama, maka kita harus melihat itu dengan menggunakan kacamata kewajaran. Tidak ada salahnya bagi seorang muslim untuk merasa suka pada seorang ulama.

Akan tetapi, manakala rasa suka itu sudah menjadi rasa suka yang berlebihan, apalagi kalau dibarengi dengan sikap merasa bahwa ulamanya itu adalah satu-satunya ulama yang benar, mana ini sudah salah.

Sesungguhnya, kalau ada orang yang boleh kita ambil pendapatnya secara 100%, maka orang itu hanyalah Syaikh Muhammad bin Abdullah, dan bukan Syaikh Muhammad bin lain-nya.

Sesungguhnya, cara beragama Islam yang benar bisa dilihat dari ada tidaknya kultus individu di dalamnya.

Sebagian ummat Islam, yang sangat berbangga-diri dengan dalil-dalil satu versi, menyebutkan bahwa di dalam Islam yang namanya organisasi adalah bid’ah. Dan dari situ mereka menyimpulkan dan menghakimi bahwa organisasi-organisasi Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Anshorus Sunnah adalah bid’ah, dan menyatakan bahwa aktifis-aktifis organisasi itu adalah para ahli bid’ah.

Masalahnya, benarkah pernyataan “organisasi Islam itu bid’ah” tersebut ?

Syaikh bin Baz berkata:

“Adapun jika ia bergabung dengan Ansharus-Sunnah lalu membantunya dalam kebenaran, atau dengan Ikhwanul Muslimin dan menyertai mereka dalam kebenaran tanpa bersikap ekstrem atau berlebihan MAKA HUKUMNYA TIDAK MENGAPA (la ba’sa). Adapun jika mereka komitmen kepada ucapan mereka tanpa ada batasan (ketaatan mutlak) maka yang demikian ini tidak boleh.”

…..

“Ia berputar bersama kebenaran, menolong jama’ah-jama’ah yang lain juga dalam menegakkan kebenaran, tetapi ia tidak boleh komitmen kepada suatu mazhab tertentu secara mutlak sekalipun mazhab tersebut bathil, seandainya terjadi demikian maka ini adalah munkar & tidak boleh, tetapi ia bersama jama’ah tertentu tersebut selama jama’ah tersebut berada dalam kebenaran dan tidak bersama mereka jika mereka banyak bersalahnya.”

Kesimpulan: Organisasi islam itu bukan bid’ah.

Demikian.

Pendapat Syaikh bin Baz di atas bisa dilihat di:

http://www.binbaz.org.sa/mat/21344 (pernyataan no. 6 )

Oleh: Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku.”Hadits ini memberi arti bahwa apabila muncul banyak golongan di tengah-tengah umat, maka jangan berafiliasi kepada satu golongan pun. Dulu muncul sekte-sekte, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Syi’ah, bahkan Rafidhah. Lalu, akhir-akhir ini muncul Ikhwaniyyun, Salafiyyun, Tablighiyyun, dan kelompok lain yang semisal.Letakkanlah semua kelompok ini di samping kiri dan teruslah melihat ke depan, yaitu jalan yang ditunjukkan oleh Nabi saw, “Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin.”Tidak diragukan, wajib atas semua kaum Muslimin untuk mengambil paham salaf; bukan berafiliasi pada golongan tertentu yang disebut “As-Salafiyyun”. Yang wajib adalah hendaknya umat Islam mengambil paham salafus shalih; bukan membentuk golongan yang dinamakan “As-Salafiyyun”. Berhati-hatilah terhadap perpecahan! Ada jalan salaf; ada pula golongan yang disebut “As-Salafiyyun”. Apa yang wajib? Mengikuti salaf!

Mengapa? Karena ikhwah As-Salafiyyun adalah kelompok paling dekat dengan kebenaran. Tidak diragukan. Akan tetapi, permasalahan mereka seperti kelompok lainnya. Sebagian individu kelompok ini saling menyesat-nyesatkan, membid’ahkan, dan memfasikkan. Kami tidak mengingkari hal ini apabila benar mereka layak untuk itu. Akan tetapi, kami mengingkari terapi bid’ah-bid’ah tersebut dengan cara ini. Yang wajib adalah pemimpin-pemimpin kelompok ini berkumpul. Hendaknya mereka mengatakan, “Di antara kita ada Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya. Marilah kita berhukum pada keduanya; bukan pada hawa nafsu, pendapat-pendapat, dan tidak pula kepada Fulan dan Fulan.” Setiap orang bisa salah dan bisa benar meski seberapa banyak ilmu dan ibadahnya. Akan tetapi, jaminan kema’shuman hanya pada agama Islam.

Nabi saw memberikan petunjuk dalam hadits ini untuk menempuh jalan yang menyelamatkan manusia; bukan berafiliasi kepada kelompok apa pun, kecuali kepada jalan salafus shalih, yaitu sunnah Nabi saw dan para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.

Sumber : http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=33
Dari buku: Beda Salaf dengan Salafi/Kasyfu Al-Haqaiq Al-Khafiyyah ‘Inda Mudda’I As-Salafiyyah karya Mut’ab bin Suryan Al-‘Ashimi.
(Tulisan ini kami salin dari: http://salafy.wordpress.com)

Manhaj Salaf

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf . Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Salafy

Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Lantas, siapakah “kelompok salafy” itu ?

“Kelompok salafy” adalah satu kelompok yang sering membedakan diri mereka dari kelompok-kelompok lain seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, atau lainnya. Dan mereka juga cenderung untuk mengatakan “Kami inilah salafy. Kami-lah yang mengikuti manhaj salaf itu”. Inilah kelompok yang telah menyalah-artikan makna manhaj salaf dari “manhaj para salafus sholeh” menjadi “manhaj selain manhaj-nya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau lainnya”. Dan kelompok inilah yang telah menyalah-artikan makna Salafy dari “orang-orang yang mengikuti manhaj salaf” menjadi “kelompok selain Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau lainnya”.

Sebagai bukti bahwa kelompok yang “mengaku-ngaku salafy” ini memang benar-benar ada, mari kita lihat fatwa Syaikh bin Baz ketika menjelaskan masalah jama’ah-jama’ah di dalam ummat Islam. Beliau mengatakan:

“Sedangkan jama’ah-jama’ah yg lain maka tdk boleh diikuti oleh seorangpun, kecuali jika mereka sesuai kepada kebenaran, walaupun namanya al-ikhwan al-muslimun, jama’ah tabligh, ansharus sunnah ataupun MEREKA YG MENGAKU-NGAKU DIRI MEREKA SALAFI, ……”

Jadi, kelompok yang “mengklaim diri sebagai salafy”, dan menyatakan bahwa “ikhwanul muslimin, jama’ah tabligh atau lainnya adalah kelompok yang tidak mengikuti manhaj salaf” adalah kelompok yang benar-benar exist, dan mereka itulah yang telah menyalah-artikan makna manhaj salaf dan salafy itu sendiri.

Demikian.

———————

Note:

Fatwa Syaikh bin Baz di atas bisa dilihat di:

http://www.bin-baz.org.sa/Display.asp?f=bz01275.htm

kalau link-nya putus, coba link berikut:

http://www.binbaz.org.sa/mat/8371

Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Shahihain dikatakan,

“Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seperti hujan lebat yang menyirami tanah. Di antara tanah itu ada yang gembur yang bisa menerima air, kemudian menumbuhkan rerumputan yang lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air, tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.’

Muttafaq ‘Alaih, dari Mu’awiyah, al-Lu’lu’ wal-Marjan (1471)

Di sini, hanya akan dibahas tentang dua kelompok pertama dalam hadits di atas.

Kelompok pertama adalah kelompok orang-orang yang bisa memahami (kelompok tanah gembur). Mereka tahu dalil, mereka memahami dalil itu dan memahami bagaimana harus menerapkan dalil itu pada kondisi yang berbeda-beda, dan mereka mampu mengajarkannya pada orang lain.

Kelompok kedua adalah kelompok orang-orang yang hanya mengetahui dalil (kelompok tanah cadas). Kelompok ini hanya bisa mengajarkan dalil-dalil kepada orang lain, tapi tidak memahami makna dalil-dalil itu, tidak memahami bagaimana seharusnya mengamalkan dalil-dalil itu dalam kondisi yang berbeda-beda. Kalaupun ada amal yang bisa dilakukan, maka itu tidak lebih dari sekedar mengajarkan dalil-dalil, tanpa pernah tahu bagaimana kaitan dalil-dalil itu dengan kondisi dirinya, kondisi orang lain, maupun kondisi masyarakat muslim di sekelilingnya. Kelompok ini cenderung untuk mengikuti pendapat “yang terkuat dalilnya”, tanpa pernah menyadari bahwa kadangkala pendapat ini tidak akan pernah bisa diterapkan dalam kondisi saat ini.

Kalau seandainya “sekedar tahu dalil” adalah hal terbaik yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim, maka mungkin Rasulullah tidak akan pernah mengeluarkan pernyataan yang memuji kelebihan orang-orang yang mampu memahami, atas orang-orang yang hanya hafal dalil, seperti pada hadits di bawah ini:

“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya.”

Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami’as-Shaghir (6763-6766)

Hadits Nabi saw:

“Tahukah kalian siapa AL-MUFLIS (orang yang bangkrut) itu? “

sampai dengan sabda beliau:

“Sesungguhnya AL-MUFLIS dari ummatku adalah orang-orang yang datang di Hari Kiamat dengan membawa PAHALA shalat, puasa dan zakat, tetapi ia juga pernah MENCACI si fulan, MENUDUH si fulan, memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, memukul si fulan, maka diberikanlah pahalanya pada si fulan & si fulan, sehingga apabila telah habis pahalanya sebelum habis dosanya maka diambillah dosa si fulan itu lalu dipikulkan pada dirinya lalu dilemparkanlah ia ke neraka”.

(Al-Albani men-shahih-kannya dalam Ash-Shahiihah (II/527, hadits no. 847))

Demikianlah,

kalau kita ingin menjadi muslim yang baik, marilah kita jaga diri kita, jaga lidah kita, jaga tulisan kita, agar tidak melukai perasaan sesama muslim. Mari belajar ilmu komunikasi, sehingga kita tidak harus membenturkan antara “memberi nasehat” dengan “merusak ukhuwah”. Dan terutama sekali, jagalah agar kita tidak mencela teman-teman kita dengan ucapan Anda adalah orang-orang yang Muflisiin (merugi)” … sebab bisa jadi ucapan itu justru akan kembali kepada diri kita sendiri.

Satu hal yang sering menimbulkan banyak masalah di kalangan ummat ini adalah, ketika “mencari dalil” hanya dilihat dari “ada tidaknya dalil itu saja”, tapi tidak melihat bahwa pemahaman diri kita masing-masing adalah juga penting.

Akibatnya, ada sebagian ummat Islam yang giat menyalah-nyalahkan satu hal, tapi kemudian malah mendukung hasil dari “hal yang salah” itu. Hal ini disebabkan karena ada dalil yang “menyalahkan hal itu” tapi ada juga dalil yang mendukung hasil dari “hal yang salah itu”.

Implementasinya, misalnya dalam masalah pemilu.

Sebagian ummat Islam mati-matian menolak pemilu dengan alasan bahwa demokrasi adalah haram. Dalilnya adalah karena demokrasi tidak sama dengan musyarawah. Sedangkan, pada sisi lain, kelompok ini justru mati-matian berprinsip bahwa kita sebagai ummat islam harus punya pemimpin, dan kita sebagai ummat Islam juga harus taat kepada pemimpin kita itu, tanpa melihat apakah dia terpilih dari sistem demokrasi, sistem musyawarah, sistem keturunan (misalnya anak raja) atau sistem lainnya lagi.

Ini adalah satu contoh dimana agama hanya dilihat dari sudut ilmu-nya saja, tapi tidak dilihat dari segi pemahaman yang utuh. Ini adalah salah. Dan yang benar adalah, bukan sekedar ada dalil-nya atau tidak ?”, tapi harus sampai pada apakah kita mampu memahami dalil-dalil itu secara utuh atau tidak ?

Buktinya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS Al-Israa, ayat 36).

Mereka, kelompok di atas, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” adalah adanya dalil atau tidak. Oleh karena itu, mereka tidak ingin campur tangan dan bahkan melarang orang lain untuk ikut pemilu, karena ada dalil yang melarangnya. Tapi sebaliknya, mereka memerintahkan diri mereka sendiri dan orang lain untuk mentaati pemimpin yang terpilih dari pemilu itu, juga karena ada dalil yang memerintahkan hal itu.

Kalau ditanya tentang kontradiksi itu, mereka akan menjawab, “Tugas kita hanyalah mengikuti dalil yang ada. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk memahami kontradiksi itu.”

Maka, sampaikanlah pada mereka bahwasanya ayat di atas masih memiliki lanjutan, yaitu:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ”

Kalau kita tidak paham atas kontradiksi yang telah kita lakukan, maka bagaimana kita akan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan kita itu ?

Kesimpulannya, kalau kita hanya hafal dalil-dalil dari setiap cabang masalah, maka berarti kita masih taklid dalam memahami dalil dan masalah itu secara utuh. Padahal, kita sebagai ummat Islam diperintahkan untuk ittiba’. Dan ittiba’ itu maknanya adalah “memahami “, jadi bukan “sekedar tahu dalil”.

Sadarkah kita bagaimana Al-Qur’an selalu menggambarkan tipe orang-orang yang akan masuk surga ?

Gambaran itu selalu berbunyi “Sesungguhnya surga disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih”.

Maka, adalah keliru kalau seluruh waktu-waktu kita hanya dihabiskan untuk mencari ilmu, meskipun kalau ilmu itu adalah ilmu dari kitab Al-Qur’an sendiri, apalagi kalau ilmu itu “hanya sekedar” ilmu dari kitab karangan syaikh A bin B bin C.

Berbahagialah orang-orang yang menyibukkan diri dengan amal-amal real di lapangan untuk membantu ummat ini.

Dari Ibnu Mas’ud ra, beliau berkata:
“Adalah seorang dari kami, jika telah mempelajari 10 ayat, maka ia tidak menambahnya sampai ia mengetahui makna dan mengamalkannya.”

(Hadits shahih menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

« Previous Page