Cara beragama yang benar


Ada saja orang-orang ringkih yang melihat carut-marut kondisi umat Islam sebagai kesalahan adanya madzhab dalam ilmu fiqih. Mereka melempar kesalahan itu kepada para ulama besar pendiri madzhab fiqih itu. Lalu dengan gagah mengatakan bahwa madzhab dirinya adalah “tidak bermadzhab”.

 

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab yang para ulama sesudahnya merasa berhutang pengetahuan kepadanya. Ia ulama mandiri, dalam ijtihad maupun dalam soal sumber pendapatan. Mengongkosi kebutuhan salah satu muridnya, Abu Yusuf sekaligus keluarganya, selama dua puluh tahun. Tapi ketika Abu Yusuf mengatakan kepada Abu Hanifah, “Aku belum menemukan orang yang lebih dermawan daripada engkou,” Abu Hanifah menjawab, “Bagaimana kalau engkau mengenal guruku (Hamad bin Abi Sulaiman) ? Aku tidak mendapati orang yang berkumpul dalam dirinya bermacam kebaikan seperti dia.”

Orang-orang angkuh itu mengatakan, bahkan di mimbar masjid saat ia punya sedikit kesempatan untuk berkhotbah, bahwa madzhab itu memecah belah ummat Islam. Padahal ia sendiri tidak melakukan apa pun untuk mempersatukan ummat IslamPadahal ilmunya tidak ada seujung kuku ilmu Imam Malik. Yang disebut sebagai Imam-nya kota Madinah, Imam Negeri Hijrah. Yang selalu bersuci sebelum mengajarkan hadits.

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku ilmu Imam Syafi’i. Yang hafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun, lalu menghafal hadits dan tafsir di usia tiga belas tahun. Ia berguru pada banyak sekali ulama. Yang sekitar sepuluh sampai tujuh belas tahun mendalami bahasa Arab fasih dari kabilah Hudzail, kabilah paling fasih dalam bahasa Arab.

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku Imam Ahmad, yang menurut Abu Zur’ah, hafal satu juta hadits. Yang karena ketakwaannya membuat jin yang mengganggu soerang perempuan takut kepada terompah Imam Ahmad dan kabur meninggalkan perempuan itu.

Seperti mereka yang antipati dengan dunia kekuasaan, karena melihat jalan menuju ke sana adalah belantara politik yang penuh kotoran. Tidak berminat dengan kekuasaan dalam arti tidak mau berpartispasi, tidak sama dengan menolak kekuasaan sebagai bagian dari ajaran agama. Islam tidak memisahkan antara kekuasaaan dan kehidupan sipil. Sebagaimana Islam tidak memisahkan antara pentingnya masjid dan pentingnya pasar. Masing-masing saling melengkapi. Tetapi di sini juga ada godaan pemanis keangkuhan. Netralitas adalah godaan keangkuhan. Ia bisa menjadi pemanis. Tapi menipu.

Orang-orang lemah datang menyelesaikan masalah dengan me-negasi dan menolak segala hal. Meski itu hanya dengan bicara dan berkata-kata. Maka masalah tak pernah selesai.

Orang kuat datang menyelesaikan masalah pertama kali dengan sikap tahu diri akan dirinya sendiri. Lalu merangkai dan menjahit dengan penuhkesabaran apa-apa yang sudah ada. Termasuk menghormati dan menghargai jasa orang lain yang juga punya kontribusi.

Disalin dari artikel “Pemanis-Pemanis Keangkuhan”, dari majalah Tarbawi Edisi 195 Th.10 Shafar 1430H, 22 Januari 2009
Tema utama edisi tsb adalah : “Orang-orang yang Mempermanis Keangkuhan”.

————

Pesan dari saya (e0d0i):
1. Semoga kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak pernah berusaha menyelesaikan masalah, tapi malah sibuk dengan omongan.
2. Mari kita hormati para pejuang yang sedang memperjuangkan ummat Islam di-manapun mereka berada, baik mereka guru, hakim, polisi, karyawan anggota DPR, ataupun lainnya.
3. Contoh mudah “orang-orang kuat” adalah para pejuang perbankan syariah di negeri ini. Mereka rela berbaur dengan debu-debu realita pada awalnya, untuk  kemudian berhasil memberikan solusi yang lebih baik kepada ummat ini. Maka, kalau kita memang tidak punya solusi, memang tidak punya kontribusi atau memang tidak pernah punya keinginan untuk mau mencarikan solusi atau mau memberikan kontribusi, minimal sekali, marilah kita belajar untuk menghormati orang lain yang berusaha mencari solusi dan berusaha memberikan kontribusi.

Ulama berbeda pendapat mengenai arti bid’ah. Ada yang memaknai semuanya sesat, ada pula yang menganggap terbagi dua antara yang baik (hasanah) dan yang buruk (sayyi-ah/dholalah).

Berikut ini adalah praktek bid’ah hasanah dari zaman salaf hingga khalaf. Sebagiaannya diperdebatkan oleh para pendukung “semua bid’ah adalah sesat”. Dalam hal ini kita kembalikan pada perkataan al-Imam Malik di hadapan kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kubur ini”

Saya awali dengan sedikit membahas hadis “kullu bid’atin dholalah” (segala bid’ah adalah sesat).

Kata “kullu” tidak selalu mencakup seluruh. Ini terbukti di dalam al-Quran

وجعلنا من الماء كل شىء حي

“Dan telah Kami (Allah) ciptakan segala (kullu) sesuatu yang hidup dari air yang hidup” (Q.S. al Anbiya’: 30)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

كل شىء خلق من الماء (رواه ابن حبان

Maknanya: “Segala (kullu) sesuatu diciptakan dari air” (H.R. Ibn Hibban)

Telah jelas bagi kita bahwa malaikat diciptakan dari cahaya, syaitan diciptakan dari api, serta fakta-fakta lain, yg merupakan pengecualian dari “kullu” yang disebutkan dalil-dalil di atas.

Hal ini juga dibuktikan dalam ayat yang lain
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas seluruh (kullu) kapal (al-Kahfi : 79)

Jelas disebutkan di ayat yang sama bahwa Khidr merusak kapal seorang miskin agar tidak diambil sang Raja (cek juga ayat 71). Dari sini dapat disimpulkan walaupun al-Quran menyebut bahwa si Raja merampas seluruh (kullu) kapal, tapi kapal yang rusak tidak dirampasnya.

Berikut ini adalah praktek bid’ah hasanah dari masa ke masa:

1. Pembukuan al-Quran di zaman khalifah Abdullah bin Utsman Abu Bakr ash-Shiddiq
“Sungguh Umar telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur’an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq) mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Aku berkata, “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Maka Umar berkata padaku, “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan”. Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur’an dan tulislah Al Qur’an!”

Zayd menjawab:

Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur’an.Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”

Maka Abu Bakar mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur’an”.

2.  Umar bin Khattab di masa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, “Inilah sebaik-baik bid’ah!” (Shahih Bukhari hadits no. 1906). Poin ini termasuk yang paling diperdebatkan antar dua kubu ulama. Tapi hendaknya dihormati pendapat yang membela bid’ah hasanah, karena seorang al-Imam asy-Syafii telah memakai dalil ini untuk memisahkan antarabid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

3. Dua kali adzan di Shalat Jumat tidak pernah dilakukan di masa Rasul shallallahu alaihi wasallam. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq. Khalifah Umar bin khattab pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bukhari hadits no. 873)

4. Ibnu Umar membiarkan shalat dhuha berjamaah yang terjadi di masjid Nabawi, walaupun menyebutnya sebagai bid’ah.
Diriwayatkan dari Mujahid berkata: Saya dan ‘Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar Aisyah sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau menjawab “Bid’ah”.

5. al-Imam al-Bukhari, yang disebut Amirul Mu’minin fil-hadis selalu melakukan sholat 2 rakaat sebelum memasukkan suatu hadis ke kitab Shahih-nya. Hal ini beliau sebutkan sendiri di mukaddimah kitab Shahih-nya tersebut.

6. al-Imam at-Tirmidzi menganggap membaca “shadaqallahul-azhim” selepas membaca al-Quran adalah bagian dari adab, walaupun tidak ada hadis tegas ttg hal ini, hanya ada dalil umum dari al-Quran. Hal ini diikuti oleh ulama ahli Tafsir, al-Imam al-Qurthubi sebagaimana beliau sebutkan dalam kitab tafsirnya.

7. Telah disebutkan oleh para ulama, sebagaimana al-Imam an-Nawawi juga menyebutkannya dalam kitab al-Adzkar, bahwa salah satu adab membaca al-Quran adalah menghadap kiblat, padahal tidak ada dalil yang tegas dan khusus dalam masalah ini.

8. al-Imam As Suyuthi mengatakan peringatan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a(termasuk bid’ah yang terbaik),  beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil Maulud(Tujuan Kebaikan dalam Amal Maulid).

9. Lafazh takbir “Allahu akbar kabira walhamdulillahi katsira wa subhanallahi….” tidak ada dalilnya, namun hal ini dipraktekkan di Masjidil Haram sampai sekarang.

10. Ucapan “shalaatul qiyaami atsaabakumullah”, sebelum shalat qiyamul-layl di Masjidil Haram masih dipraktekkan hingga sekarang walaupun tidak ada dasarnya dari Nabi shallalahu alaihi wasallam

11. Para Imam di Masjidil-Haram selalu memperpanjang doa qunut witirnya melebihi apa yang diriwiyatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal ini pun dibenarkan oleh asy-Syaikh al-Utsaimin dalam salah satu risalahnya yang membahas qunut.

12. Berbeda dengan shalawat yg disyariatkan ketika menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak ada dalil khusus tentang penyebutan radhiallahu anhum bagi para sahabat (hanya ada dalil umum dalam al-Quran), ataupun rahimahumullah. Tetapi hal ini dipraktekkan mulai dari zaman salaf hingga sekarang.

Demikianlah sebagian bid’ah hasanah yang dipraktekkan dari masa ke masa. Dalam hal ini, ulama yang membolehkan bid’ah hasanah menganggap adanya dalil umum (co. ucapan shodaqallahu)  atau kemashlahatan (co. adzan jumat 2 kali) bisa menjadi landasan munculnya bid’ah hasanah.
وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادل
ة

“hadits hadits ini merupakan kaidah kaidah dasar agama karena mencakup hukum hukum yg tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan para fuqaha dalam pembagian bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan thd bid’ah hasanah) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits),

maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah Bid’ah hasanah”, dg kau mengambil posisi melarangnya dg bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid’ah adalah sesat dan yg semacamnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal Bid’ah yg menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yg baik atau bid’ah yg sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid’ah (hal baru), maka bila ia membawa dalilnya (tentang Bid’ah hasanah) yg dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (aqlan wa syar’an) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).

Wallahu a’lam

Sumber: http://abusyakura.multiply.com/journal/item/6

Berikut adalah kutipan nasehat dari Syaikh DR. Aidh Abdullah Al Qarni (pengarang buku La Tahzan), yang dimuat di majalah Tarbawi edisi no 207, tanggal 9 Juli 2009.

Nasehat ini ditujukan kepada orang-orang yang mengaku “berada di atas manhaj salaf”.

Silakan menyimak.

—–

Kata-kata adalah Amanah
Oleh DR. Aidh Abdullah Al Qarni
Majalah Tarbawi, edisi 209, 9 Juli 2009

Syariat Islam kita memerintahkan kita wajib mengevaluasi diri, tentang apa yang telah terucap dan apa yang kita tulis. Sebab, apa yang kita ucapkan itu termasuk dari perbuatan kita. Ada orang yang mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa dilandasi ilmu. Ia mengeluarkan pendapat dan berfatwa dalam urusan agama dengan kebodohan. Berbicara tentang masalah aqidah dan ibadah tanpa kehati-hatian dan tanpa sikap wara’. Menurut dirinya, apa yang dilakukannya itu benar, dan apa yang dilakukan orang lain itu pasti salah. Bila engkau setuju dengan fatwa yang dikeluarkannya, engkau akan dikatakan sebagai orang yang baik dan benar. Tapi bila engkau berbeda pendapat dengannya, engkau akan dikatakan sebagai sesat dan menyesatkan.

Ia mengatakan apapun yang ingin dikatakan. Mengucapkan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Bila mungkin, ia tuangkan apa yang ia ucapkan itu pada situs internet. Isinya adalah cacian dan kemarahan yang tidak pantas dilakukan kecuali oleh manusia yang tidak lagi memiliki akal dan begitu menyakitkan. Ia tidak menganggap ada Allah swt yang mengawasi dan menghitung apa yang dikerjakannya. Ia hanya mencaci dan menghina, menyatakan sesat dan mengatakan orang fasiq, mengklaim orang sebagai ahli bid’ah, atau bahkan orang kafir yang sama sekali tidak memiliki kebaikan. Ia tidak mengakui kebenaran dan tidak memandang sisi positif apapun. Ia sama sekali tidak bangga dengan kebaikan orang lain, melainkan hanya bekerja mengumpulkan kesalahan demi kesalahan, kekeliruan demi kekeliruan pihak lain. Bahkan, terkesan senang dengan kesalahan orang lain.

Di antara bahaya yang paling berat bagi ummat ini, adalah ketika ada orang yang berbicara tanpa etika, berfatwa tentang sesuatu tanpa pendalaman kasus, menyampaikan sesuatu yang tidak dipahami orang, dan cenderung mengeksploitir kekurangan dan kesalahan orang lain, untuk menjatuhkan dan menghinakannya. Ia mempunyai sensitifitas tinggi dalam mengail kesalahan orang.

Jika mendengar ada seseorang dipuji, ia lebih ingin mengatakan bahwa pada diri orang yang dipuji itu ada kekeliruan ini dan itu. Ia melihat sisi gelap dari pihak lain, dalam bicaranya. Memelihara kesalahan orang lain yang mungkin sedikit. Pemerintah dalam pandangannya semua adalah kejam dan zalim. Para ulama dalam pandangannya, semua adalah orang-orang yang mecari muka. Para juru dakwah, dalam pandangannya, semuanya adalah para pemburu dunia. Para mahasiswa yang tengah mendalami ilmu agama, dalam pandangannya, semuanya gagal. Masyarakat yang menjalani agama, menurutnya, semuanya bodoh. Para pengusaha, menurutnya, semua pelaku riba. Para penyair, dalam pandangannya, semuanya pendusta.

Sedangkan dirinya, dalam pandangannya, adalah orang yang paling zuhud di zamannya. Manusia langka di zamannya yang mendapat dukungan Allah swt, dalam pandangannya. Ialah yang bertugas menghakimi kesalahan dan memberi petunjuk orang yang dianggap salah. Ialah yang menyesatkan orang selain dirinya karena kesalahan yang mungkin diampuni oleh Allah swt. Ialah yang paling sedikit kesalahan dan kekurangannya. Jika dikatakan kepadanya, “Bagaimanakah sikap kita saat ini dibandingkan dengan sikap Rasulullah saw yang lemah lembut?“, Ia menjawab, “Bagaimana sikapmu dibandingkan dengan sikap para ulama salaf seperti Ibnu Mubarak atau penerus ulama salaf seperti Abdullah bin Baz?“. Padahal, seharusnya ia bisa melihat bagaimana peri hidup dua ulama besar itu yang sangat berlapang dada, baik dan sopan dalam ucapannya, lemah lembut bersikap terhadap orang lain, rendah hati terhadap hamba-hamba Allah, jauh dari perilaku ghibah membicarakan aib dan kekurangan orang lain. Peri hidup mereka bersih, bening, dipercaya, dan bisa diterima oleh banyak orang, baik orang awam maupun khusus.

Tambahan dari saya (e0d0i),
Tidak semua warga salafy bersikap seperti yang di atas itu.
Tapi memang ada sebagian yang bersikap seperti itu, dan itu adalah realita yang buktinya bisa dilihat di mana-mana.
Semoga artikel ini bisa menjawab pertanyaan warga salafy yang sering menanyakan, “Apa bedanya antara tegas dan kasar dalam bersikap?”
Mudahnya, contoh “sikap kasar” yang sering ditemukan pada beberapa warga salafy adalah sikap yang telah dijelaskan oleh Syaikh Aidh Abdullah Al-Qarni di atas.

Inti dakwah Islam adalah Al-Qur’an.
Setelah itu, inti dakwah Islam adalah Hadits nabi.

Di dalam al-Qur’an sendiri, ada banyak ayat yang tidak jelas maknanya. Ayat-ayat ini disebut ayat-ayat mutasyaabihat. Dan prinsip dakwah yang benar tentang ayat-ayat ini adalah “tidak membesar-besarkan hal tersebut”.

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. …. ”  (QS. Ali Imraan ayat 7)

Maka, inti dasar agama Islam itu ada di ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang jelas.
Juga, inti agama islam itu ada pada hadits-hadits nabi yang shahih, dan tidak multi-tafsir.
Mari kita pelajari Islam melalui dakwah yang benar, yaitu dakwah yang mengutamakan ayat-ayat yang muhkamat, hadits-hadits yang muhkamat, dan tidak memprioritaskan hal-hal lainnya.

Dahulu, salah seorang Tabi’in bernama Sa’id bin al-Musayyaf ra melarang murid-muridnya mencatat penjelasan pengajiannya, karena khawatir memalingkan masyarakat dari Al-Qur’an. Pada suatu kesempatan, beliau merobek catatan salah seorang muridnya dan berkata dengan nada marah, “Engkau perhatikan ucapanku dengan penuh seksama dan kau tinggalkan Al-Qur’an, lalu kemana-mana kamu akan mengatakan, “Menurut Sa’id begini …. begitu!”

Maka, kalau kita menjumpai sebagian ummat Islam yang tidak mengutamakan ayat-ayat muhkamat, dan tidak mengutamakan hadits-hadits yang muhkamat pula, tapi malah mengutamakan ayat-ayat yang mutasyaabihat atau hadits-hadits yang multi-tafsir, lalu mencari-cari takwil-nya, lalu menyalahkan kelompok lain dengan alasan  “karena syaikh anu bin anu bin anu telah berkata demikian” …. maka sesungguhnya “sebagian ummat islam” ini telah terjatuh dalam pola dakwah yang tidak benar.

Dakwah yang benar, adalah dakwah yang tidak akan banyak berbicara tentang bid’ah di awal-awal dakwahnya.

Alasannya, karena dakwah Rasulullah dahulu pun juga tidak banyak membicarakan hal-hal bid’ah

Kalau mau bukti, coba buka ayat-ayat Makiyyah, apa ada yang membahas tentang bid’ah ?

Sesungguhnya, inti dakwah agama Islam adalah ayat-ayat Makiyyah itu. Dan apa-apa yang banyak disebut dan diulang-ulang oleh ayat-ayat Makiyyah adalah hal-hal yang penting di dalam agama ini. Artinya, apa-apa yang tidak diulang-ulang atau bahkan tidak disebut oleh ayat-ayat Makiyyah adalah hal-hal yang tidak dianggap penting oleh Al-Qur’an.

Maka, sesungguhnya dakwah yang benar adalah dakwah yang berorientasi pada Al-Qur’an, dan bukti dari hal itu adalah dengan cara memprioritaskan hal-hal yang memang diprioritaskan oleh Al-Qur’an, dan dengan cara tidak memprioritaskan hal-hal yang memang tidak diprioritaskan oleh Al-Qur’an.

Kesimpulannya, dakwah yang “belum apa-apa” sudah membahas tentang bid’ah adalah dakwah yang tidak benar. Karena memang, bukan seperti itulah dakwah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dahulu.

Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com – Surat-surat yang pertama turun adalah yang berkaitan dengan masalah aqidah. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana Rasulullah saw. memahami aqidah, kita harus benar-benar memahami ayat-ayat atau surat-surat Makiyah tersebut. Manhaj aqidah secara umum dibagi dua: manhaj yang benar lagi menyeluruh (المنهاج الصحيح الشامل) dan manhaj yang parsial (المنهاج الجزئ).

Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan Abdullah bin Umar oleh Al‑Hakim bahwa generasi umat dibagi jadi dua: (1)‑ umat yang diberi keimanan terlebih dahulu, kemudian baru diberi Al Qur’an (2)‑ umat yang mengambil pelajaran Al‑Qur’an lebih dahulu sebelum didapatkan keimanan. Kemudian Atsar itu menyebutkan perilaku dari kedua kelompok generasi itu, dimana kelompok yang pertama terdiri dari para Salafushshaleh dan pembesar‑pembesar sahabat yang mengetahui yang diwajibkan dari yang dilarang dan alasannya; sementara kelompok yang kedua cuma pandai membaca Al‑Qur’an dengan lancar dan mengkhatamkannya dengan cepat tanpa tahu mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang serta batasan‑batasannya. Pada akhirnya kedua kelompok ini melahirkan manhaj yang berbeda, dan dari kelompok yang kedualah munculnya Al‑Firaq Al‑Bathilah (aliran‑aliran yang sesat), di antaranya Al‑Khawarij.

Tujuan pembahasan Firaq Bathilah ini agar pada kita tidak terjadi Firaq ini, sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh Hudzaifah bin Al‑Yaman dalam sebuah haditsnya yang panjang.

كان الناس يسألون رسول الله (ص) عن الخير وكنت اسأله عن الشر مخافة أن يدركني

“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasulullah perihal kebaikan, tapi saya bertanya kepadanya perihal keburukan karena takut hal itu menimpa diriku.”

Di samping itu pengetahuan tentang Firaq ini menjadi kebutuhan kita untuk memberi hujjah kepada orang-orang yang mungkin memiliki sikap‑sikap yang juz’i dan menyimpang dari Islam.

AL-KHAWARIJ (الخوارج)

Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).

Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islarn sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,

إبن تيمية: أول بدعة ظهورا في الإسلام بدعة الخوارج

“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”

Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.

Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali r.a. sebagaimana sebagian para ahli sejarah menyebutkan, tapi sudah muncul pada masa Utsman r.a. baik secara ajaran maupun dalam bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku sejarahnya Imam At‑Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam buku tersebut orang yang memberontak kepada Utsman r.a. disebut Khawarij. Hal ini dikuatkan oleh fakta sejarah berikutnya dimana mereka berhasil membunuh Utsman r.a. Kemudian umat Islam membai’at Ali r.a. termasuk sebagian besar orang‑orang yang telah membunuh Utsman r.a. Sementara itu Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Aisyah, dan sahabat yang lain keluar dan menuntut pembelaan terhadap Utsman r.a. Ali r.a. berkata, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tapi mereka sangat banyak dan bercampur dalam pasukan kami.” Ali r.a. menghendak masalah Khalifah diselesaikan dahulu baru menyelesaikan orang‑orang yang membunuh Utsman. Kemudian antara pihak Ali r.a. dan Aisyah r.a. sudah terjadi kesepakatan bahwa mereka tidak akan berperang kecuali untuk menuntut pembunuh Utsman, tapi orang‑orang yang membunuh Utsman membuat fitnah lagi dalam Perang Jamal. Mereka memisahkan diri jadi dua, sebagian bersama Ali dan sebagian bersama Aisyah; dan mereka berdua saling melempar lembing, dan satu sama lain mengatakan bahwa Ali telah berkhianat dan Aisyah telah berkhianat, maka terjadilah apa yang terjadi dalam Perang Jamal.

Pada waktu terjadi peperangan antara Ali r.a. dengan Muawiyah r.a., mereka juga bersama Ali dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah disebut Perang Shiffin. Dalam buku‑buku tarikh Syi’ah juga ditulis dalam buku‑buku tarikh Sunnah, disebutkan ada pihak ketiga yang netral di antaranya Abdullah bin Umar, Abu Musa Al‑Asyari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya yang mencoba mengadakan ishlah pada keduanya dan mempertemukan keduanya. Terjadilah suatu dialog antara utusan Ali r.a. dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.

“Apakah Anda memerangi Ali karena Anda ingin menjadi khalifah?” Muawiyah berkata, “Saya tahu diri saya. Saya tahu diri saya jauh di bawah Ali, dan tidak ada dalam benak saya keinginan untuk menjadi khalifah. Saya keluar berperang untuk menuntut darah Utsman.” “Apa betul Anda tidak ingin menjadi khalifah?” Berkata Muawiyah, “Andaikata Ali menyerahkan siapa pembunuh Utsman niscaya saya orang yang pertama berbai’at.” Akantetapi suasana dikacaukan oleh orang‑orang tadi yang akhirnya terjadi Perang Shifiin.

Ketika pihak Muawiyah hampir kalah, atas usulan Amru bin Al‑Ash untuk meletakkan mushaf di pucuk pedang sebagai tanda ingin berunding. Ali r.a. tahu bahwa ini tipu daya tetapi orang‑orang Khawarij meminta Ali untuk menerimanya bahkan memaksa dan mengancam:

لئن أتيت لنفعلنّ بك كما فعلنا بعثمان لنقتلنك كما قتلنا عثمان

“Jika engkau menolak, kami akan memperlakukan Anda sebagaimana kami memperlakukan Utsman dan kami akan membunuh Anda sebagaimana kami telah membunuh Utsman.”

Akhirnya Ali r.a. menerima dengan terpaksa, kemudian menyuruh panglima perangnya Asytar An‑Nakha’i untuk menerima tahkim. Tapi Asytar juga keberatan atas perintah itu karena ia tahu benar unsur tipuannya sangat besar. Namun, lagi‑lagi orang‑orang Khawarij memaksa Asytar dan mengatakan apa yang dikatakan kepada Ali r.a., maka Asytar pun menerima tahkim itu.

Ketika Ali r.a. tahu bahwa pihak Muawiyah mengutus Amru bin Al‑Ash, seorang yang diketahui ahli diplomasi, maka Ali r.a. mengutus Abdullah bin Al‑Abbas. Tapi lagi‑lagi orang Khawarij membuat ulah dan berkata, “Kalau Anda mengutus Ibnu Abbas apa bedanya Anda dengan Utsman. Kami memerangi Utsman karena dia selalu mengangkat keluarganya sendiri. Sekarang Anda mengutus Ibnu Abbas, keponakan anda sendiri.” Mereka meminta yang menjadi utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al‑Asy’ari, tokoh netral. Tapi Ali tahu kalau Abu Musa bukanlah orang yang cocok pada masalah ini, dia terlalu lugu (ikhlash). Mereka bersikeras dan mengancam Ali r.a., sampai dalam hal ini Ali berkata,

كنت بالأمس أميرا وكنت اليوم مأمورا

“Dulu saya bisa memimpin tapi saya sekarang jadi dipimpin.”

Kemudian setelah acara tahkim usai dengan hasil yang sangat merugikan Ali r.a., permasalahan ternyata belum selesai. Orang Khawarij membuat ulah lagi dengan mengkafrkan Ali r.a. dengan berkata,

كفرت لأنك حكمت رجالا في حكم الله, إن الحكم إلا لله

“Anda telah kafir karena Anda telah menyerahkan urusan tahkim kepada orang dalam hukum Allah. Tiada yang berhak menghukum melainkan Allah.”

Dan mereka keluar dari pasukan Ali –jumlah mereka sebanyak 12.000 orang–, maka terpaksa Ali menghadapi mereka dan menyuruh Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan mereka.

Fenomena sikap Khawarij banyak terjadi sekarang dan biasa disebut Neokhawarijisme bahkan bisa jadi dekat dengan kita, apalagi hal itu telah diprediksi oleh Rasulullah saw. Ibnu Abbas ketika mengadakan dialog dengan mereka menyebutkan beberapa ciri‑ciri di antaranya: Mereka sangat wara’, pakaiannya sangat sederhana, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidatnya hitam, telapak tangan dan kakinya kapalan, dan meraka disebut qura’ yaitu orang yang bagus bacaannya dan lama bila membaca Al-Qur’an.

Untuk melihat sifat‑sifat mereka lebih jauh, kita lihat hadits‑hadits Rasul saw. yang membicarakan hal ini, diantaranya:

عن أبي سعيد الخذري قال: بينما نحن عند رسول الله (ص) وهو يقسم قسما أتاه ذوالقويصرة وهو رجل من بني تميم فقال: يا رسول الله اعدل. قال رسول الله (ص) ويلك ومن يعدل إن لم اعدل؟ قد خبتُ وخسرتُ إن لم اعدل. فقال عمر بن خطاب (ض) يا رسول الله ائذن لي فيه اضرب عنقه. قال رسول الله (ص) دعه فإن له أصحابا يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم وصيامه مع صيامهم يقرئون القران لا يجاوز تراقيهم ويمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية

Dari Abi Said Al‑Khudry berkata, Tatkala kami bersama Rasulullah saw. dan beliau sedang membagikan ghanimah, datang Dzul Khuwaishirah salah seorang dari Bani Tamim dan berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah!” Berkata Rasulullah saw., “Celaka! Siapa yang akan berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Niscaya saya celaka dan binasa jika saya tidak adil.” Berkata Umar bin Khattab, “Wahai Rasulullah! Ijinkan saya memenggal lehernya.” Berkata Rasulullah saw., “Biarkanlah dia. Sesunggulinya dia mempunyai banyak teman, dirnana dianggap remeh shalat di antara kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka, mereka membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Pada hari Hunain Rasulullah saw. mengutamakan sebagian manusia dalam pembagian ghanimah. Beliau memberi Al‑Aqra bin Habis Al‑Handhaly 100 unta, memberi Uyainah bin Badrul Fijary dengan jumlah yang serupa dan memberi para pembesar Arab, beliau mengutamakan mereka dalam pembagian. Maka berkata salah seorang, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak bertujuan untuk mencari ridha Allah!” (HR. Muslim)

وفي رواية: إن من ضئضئ هذا قوما يقرئون القرآن لا يجاوز حناجرهم يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان يمرقون الإسلام كما يمرق السهم من الرمية لئن أدركتهم لأقتلنهم قتل عاد

Dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya dari keturunan ini ada kaum yang membaca Al-Qur’an yang tidak sampai kecuali pada kerongkongan, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, jika saya menjumpai mereka pasti akan saya bunuh mereka seperti membunuh kaum Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim)

سيخرج في آخر الزمان قوم أحدث الأسنان سفهاء الأحلام

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

يخرج قوم من أمتي يقرئون القرآن يحسبون لهم وهو عليهم لاتجاوز صلاتهم تراقيهم

“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al‑Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka.” (HR. Muslim)

يحسنون القيل ويسيئون الفعل يدعون إلى كتاب الله وليسوا منه في شيء

“Mereka baik dalam berkata tapi jelek dalam berbuat, mengajak untuk mengamalkan kitab Allah padahal mereka tidak menjalankannya sedikitpun.” (HR. Al-Hakim)

لايزالون يخرجون حتى يخرج آخرهم مع المسيح الدجال

“Mereka akan senantiasa keluar sampai pada yang terakhir bersama Al-Masih Ad-Dajjal. Jika kalian bertemu mereka, maka bunuhlah; merekalah sejelek-jelek penciptaan dan sejelek-jelek makhluk.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)

الخوارج كلاب أهل النار

“Al-Khawarij adalah anjingnya ahli neraka.”

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan sifat-sifat, nilai, fenomena, dan kedudukan mereka.

Sifat‑sifat Khawarij

I. Mencela dan Menyesatkan (الطعن والتضليل)

Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.

2. Buruk Sangka (سوء الظن)

Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.

3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah (المبالغة في العبادة)

Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.

4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya (التشدد على المسلمين والترخص على غيرهم)

Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembali berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,

القاعد فيها خير من القائم والقائم فيها خير من الماشي

“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”

Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.

Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.

5. Sedikit pengalamannya (قلة التجربة)

Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.

6. Sedikit pemahamannya (قلة الفقه)

Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.

7. Nilai Khawarij

Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”

8. Fenomena Khawarij

Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”

9. Kedudukan Khawarij

Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.

10. Sikap terhadap Khawarij

Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”

Ibroh (Pelajaran) yang kita dapat

1. Berhati‑hati supaya tidak terjatuh pada Khawarijisme (التخذير من الوقوع)

Secara sosial politik Khawarij bisa muncul kapan saja. Kemunculan pertama Khawarij dimulai dari ketidakpercayaan (‘adamuts tsiqah) sebagian mereka kepada pemimpin kaum Muslimin, yaitu Utsman bin Affan yang mereka anggap tidak adil, nepotisme, dan mengangkat orang‑orang dekatnya. Ditambah ada sosok lain yang tidak suka dengan Islam, yaitu Abdullah bin Saba, yang sangat besar pengaruhnya dalam memecah belah umat Islam. Melihat sejarah awal munculnya Khawarij, sekarang ini fenomena itu tampaknya ada.

2. Bertaubat jika sudah terjatuh (الإنقاذ إن وَقَعَ)

Sejarah pun telah membuktikan banyak umat Islam yang sudah terjatuh pada fitnah Khawarijisme. Di Mesir pada tahun 60‑an banyak kelompok yang keluar dari jama’ah yang benar dan menuduh pemimpinnya lemah, bahkan menuduh sesama muslim sebagai kafir. Untuk menghadapi orang‑orang yang sudah terjatuh pada Khawarij minimal dibutuhkan tiga cara: (1) memilih orang yang cocok untuk menghadapi mereka, (2) cara yang benar, (3) memeranginya jika diperlukan.

Ali, Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz dianggap orang yang cocok untuk menghadapi Khawarij disamping mereka bertiga memiliki ilmu yang dalam dan bijaksana serta pandai memilih cara yang tepat untuk menghadapi mereka.

Pada saat Ali r.a. menghadapi mereka, beliau bertanya, “Apa yang Anda rasa berat dari saya?” Mereka menjawab, “Karena Anda menyerahkan hak menghukum kepada manusia, padahal tidak ada yang berhak rnenghukum kecuali Allah.” Jawab Ali, “Apakah jika saya mendatangkan dengan dalil Al‑Qur’an kepada Anda, Anda akan kembali?” Mereka menjawab, “Kenapa tidak?” Maka Ali mengambil dalil dari Al‑Qur’an surat An‑Nisa ayat 35 yang artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki‑laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” “Kalau pada masalah pernikahan saja Allah membolehkan mengambil hakim dari manusia apalagi masalah Khilafah!” Maka sebanyak 4.000 orang dari Khawarij bertaubat.

Begitu juga Ibnu Abbas sebagai sosok yang mampu menghadapi orang‑orang Khawarij. Suatu saat Ali mengutusnya untuk menghadapi Khawarij, maka Ibnu Abbas bertanya pada mereka, “Hal apakah yang membuat Anda dendam kepada Ali?” Mereka menjawab, “Ada tiga, pertama, dalam hal agama Allah, Ali bertahkim pada manusia; kedua, ia berperang tapi tidak menawan pihak musuh dan tidak mengambil harta rarnpasan; ketiga, waktu bertahkim ia rela meninggalkan keamirannya.” Maka jawab lbnu Abbas, “Mengenai bertahkim pada manusia apa salahnya, kemudian beliau membacakan ayat 95 dari surat AI‑Maidah. Tentang ucapan Anda, ia berperang tidak melakukan penawanan, apakah Anda menghendaki agar Aisyah, istri Rasul saw., jadi tawanan? Adapun Ali menanggalkan kekhalifahannya, Ali mencontoh Rasulullah saw. pada saat perjaniian Hudaibiyah.” Demikianlah setelah Ibnu Abbas menyelesaikan dialognya dengan sangat bijaksana, sekitar 20.000 orang Khawarij bertaubat.

Begitu juga Umar bin Abdul Aziz melakukan yang serupa dimana pada masa daulah Bani Umayyah yang paling membahayakan adalah orang‑orang Khawarij. Bahkan daulah punya pasukan khusus untuk menghadapi mereka yang dipimpin oleh Al‑Muhalab bin Abi Shufroh. Suatu saat Umar berdialog dengan salah seorang dari mereka yang bernama Al‑Bistom dan berkata, “Kami siap kembali kepada Anda dengan syarat Anda bertaubat dan melaknati Bani Umayyah.” Umar berkata, “Baiklah, apakah hal ini ada sanad tarikhnya bahwa orang yang bertaubat harus melaknati leluhurnya?” Umar melanjutkan, “Apakah Anda pernah melaknati iblis dan Fir’aun? Mengapa Anda menyuruh saya untuk melaknati orang yang kemungkinan lslamnya masih besar?”

Bukti dari ini semua menunjukkan bahwa Ali, Ibnu Abbas, dan Umar adalah figur yang cocok untuk menghadapi Khawarij berkat ilmunya yang sangat dalam dan kebijaksanaannya. Mereka juga memiliki metodologi yang baik dalam menghadapi mereka. Kebaikan cara dan kebijaksanaan Ali terbukti ketika ditanya, “Apakah Khawarij itu kafir?” Jawab Ali, “Mereka adalah orang yang berusaha lari dari kekafiran.” “Apakah mereka munafik?” Jawab Ali, “Orang munafik tidak menyebut Allah kecuali sedikit, padahal mereka orang yang banyak menyebut nama Allah.”

Kelompok Khawarij ini sangat unik. Hal ini terlihat pada kasus ketika mereka mengadakan kesepakatan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Al‑Ash. Salah seorang yang ditugaskan untuk membunuh Ali adalah Abdurrahman bin Muljam. Abdurrahman sebenarnya enggan diberi tugas untuk membunuh Ali, tapi ketika lewat pada perkampungan Khawarij dia mendapatkan orang yang tercantik di kampung itu dan bapak serta kakaknya sudah tewas terbunuh oleh Ali dalam peristiwa Harura. Perempuan itu bernama Qutom dan sangat dendam pada Ali. Ibnu Muljam berkata pada perempuan itu, “Saya ingin mengawini Anda!” “Boleh, tapi mahar apa yang akan engkau berikan pada saya?” jawab Qutom. “Apa saja yang engkau minta niscaya aku kabulkan,” balas Ibnu Muljam. Maka Qutom mengatakan, “Saya minta 30.000 hamba sahaya, budak yang bisa menyanyi, dan membunuh Ali.” “Kalau yang tiga pertama dapat saya kabulkan, tapi yang terakhir engkau jangan berharap.” Qutom kemudian berkata, “Jika Anda bisa melakukannya, saya akan sembuh dari sakit hati, Anda bisa menikahi saya. Tapi kalau tidak, maka akhirat lebih baik bagi Anda dari dunia dan segala isinya.” Maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Dari kasus ini menunjukkan ada kasus yang terselubung dan tidak murni dalam pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam.

Bentuk keunikan lain, mereka adalah kelompok yang mudah dibodohi. Maka, untuk menghadapi mereka diperlukan cara khusus. Hal ini pernah terjadi pada Amru bin Ubaid, salah seorang tokoh Mu’tazilah. Suatu saat ia lewat perkampungan Khawarij dengan ternan‑temannya dan dihadang oleh mereka seraya berkata, “Mana kawan‑kawan Anda, tadi kelihatan banyak?” Jawab Arnru dengan menyitir ayat 6 surat At‑Taubah, “Kami orang yang musyrik yang meminta perlindungan agar dapat mendengar firman Allah.” “Boleh, kami melindungi Anda sekalian. Pergilah, Anda mendapat perlindungan.” Tapi Amru merasa belum aman karena perkampungan Khawarij masih panjang, maka dia berkata, “Tidak begitu. Antarkanlah ia ke tempat yang aman.” Maka orang‑orang Khawarij tadi mengantarkannya. Peristiwa ini menunjukkan pemikiran orang-orang Khawarij yang sangat sederhana yang mengakibatkan mudah diperdaya dengan logika yang sangat sederhana. Sehingga untuk menghadapi mereka, dibutuhkan cara yang tepat dan tidak perlu logika yang berat‑berat.

Cara yang ketiga, memeranginya jika dianggap perlu. Hal ini terbukti ampuh dan juga pernah dilakukan Ali r.a. Pada masa Daulah Abbasiyah kekuatan mereka secara politis sudah bisa dilumpuhkan, kalaupun masih ada hanya bekas‑bekas atau pengaruh pemikiran mereka dan dalam bentuk nilai seperti menyesatkan dan menganggap kafir orang muslim.

3. Mensyukuri pemahaman yang benar (الشكر على الفهم الصحيح)

Kalau kita melihat betapa orang yang ibadahnya sangat rajin, pandai bahasa Arab, masih bisa salah dalam memahami Islam bahkan dicap oleh Rasul sebagai anjingnya ahli neraka, ini menunjukkan betapa besarnya nikmat pemahaman yang benar yang diberikan Allah pada kita.

Salah seorang ulama salaf berkata:

لا أدري بآية إحدى النعمتين أشكر أبالفهم الصحيح أوالتجنيب من البدع

“Saya tidak tahu bagaimana saya harus bersyukur dengan nikmat memahami Islam dengan benar atau mampu menjauhi dari bid’ah.”

Tokoh-tokoh Khawarij
Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Beliau adalah tokoh utama dari 12.000 orang yang keluar dari barisan Ali r.a. dan menjadikan Haruriah sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama kroninya mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdulllah sendiri.
Nafi’ ibn al-Azraq merupakan salah seorang pengikut sekte Muhakkimah yang tersisa dalam peprangan di Nahrawan. Bersama kroni-kroninya, ia kembali menyebarkan paham khawarij dengan berganti baju Al-Azariqah
Najdah ibn Amir al-Hanafi, pemimpin sekte al-Najd, merupakan koalisi dari beberapa tokoh Khawarij –seperti Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, Atiah Al-Hanafi, dan Najdah sendiri– akibat kekecewaan terhadap kepemimpinan Nafi’ Al-Azraq.

Ide-ide Pemikiran aliran Khawarij
Menganggap kafir orang-orang yang berseberangan dengan mereka, terutama yang terlibat dalam Perang Shiffin. Karenanya, tidak ada istilah damai untuk penentang Khawarij, mengingat yang dimaksud ishlah dalam QS. Al-Hujurat: 9 adalah sesama orang Islam, tidak dengan orang kafir.
Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
Hak khilafah tidak harus dari kerabat nabi atau suku Quraisy khususnya, dan orang Arab umumnya. Seorang khalifah harus dipilih oleh kaum Muslimin melalui pemilihan yang bebas. Khalifah yang taat kepada Tuhan wajib ditaati. Sebaliknya, khalifah yang mengingkari Tuhan dan umat yang durhaka kepada khilafah yang wajib ditaati, boleh diperangi dan dibunuh.
Orang musyrik adalah yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka, atau orang yang sepaham tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. Orang musyrik itu halal darahnya. Nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekal di neraka.
Mereka menganggap bahwa hanya daerahnya yang disebut dar al-Islam, dan daerah orang yang melawan mereka adalah dar al-harb. Karenanya, orang yang tinggal dalam wilayah dar al-harb, baik anak-anak maupun wanita, boleh dibunuh.
Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan rasul-Nya. Selain dua hal itu tidak wajib diketahui.
Melakukan taqiyyah (menyembungikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara lisan maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.
Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi dosa besar dan pelakunya menjadi musyrik.
Imam dan khilafah bukanlah suatu keniscayaan. Tanpa imam dan khilafah, kaum muslimin bisa hidup dalam kebenaran dengan cara saling menasihati dalam hal kebenaran.

Kemunculan gerakan Khawarij sangat kental dengan nuansa politiknya. Persoalan teologi hanya dijadikan komoditi politik untuk melegitimasi gerakan mereka. Allahu a’lam

sumber:

http://www.dakwatuna.com/2008/khawarij-dan-sifat-sifatnya/

Oleh Haryanto
image

Assalamu ‘alaikum wr. wb, Saya ingin meletakkan hal ini secara objektif, agar kita tidak fanatik dan taqlid kepada siapun juga.

Pertama, kalau kita semuanya mau jujur bahwa perintah menjadi SALAFY itu tidak ada yang jelas, semuanya hanya berupa indikasi dan penafsiran yang sifatnya ijtihadiyah (atau maaf seperti dipaksakan).

Contohnya, At-Taubah ayat 100, itu bukan perintah untuk menjadi SALAFY tapi perintah untuk mengikuti Rasulullah dan Sahabat (muhajirin dan anshor). Kalau hal itu perintah menjadi SALAFY tentunya ayatnya akan dinyatakan secara tegas dan jelas semisal “Isyhaduu biannaa muslimuun” (Saksikanlah kami adalah muslim).
Tapi kita kan nggak pernah menemukan perintah “SAKSIKANLAH BAHWA KAMI SALAFY”.

Atau perintah “ITTAQULLAHA HAQQA TUQAATIHI” (Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa). Adakah perintah yang setegas itu untuk untuk bermanhaj SALAFY, misalnya berbunyi “BERTAKWALAH KEPADA ALLAH dan BERMANHAJ SALAFLAH KALIAN”.

Lalu dilanjutkan WA LAA TAMUUTUNNA ILLAA WA ANTUM MUSLIMUUN (perintah ini kan sangat tegas jelas tidak perlu penafsiran lagi yaitu bahwa Allah menyuruh kita menjadi MUSLIM).

Belum lagi banyak sekali akhir ayat yang secara tegas menyatakan WA NAHNU LAHU MUSLIMUN (Dan kami adalah orang-orang Islam).

Adakah dalam Alqur’an yang menyatakan WA NAHNU LAHU SALAFIYUUN….? Atau dalam HADITS. Inilah yang saya maksud sebaiknya kita kembali kepada perintah yang JELAS dan TEGAS.

Kedua, surat Ali Imran ayat 110, ini adalah perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Bukan perintah untuk bermanhaj SALAF.

Ketiga, berkaitan dengan hadits-hadits yang mengindikasikan SALAF, contohnya “Sebaik-baik manusia adalah kurunku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka…

Hadits ini khabar atau perintah. Kalau kabar maka hadits ini adalah pujian kepada generasi terbaik. Hadits ini jelas-jelas berupa kabar. Sebab jika kita kaitkan dengan ayat lainnya maka yang paling mulia adalah yang paling taqwa (INNA AKRAMAKUM ‘INDALLAHI ATQAAKUM). Mereka tidak dibatasi ZAMAN dan WAKTU.

Contohnya IMAM MAHDI meskipun lahir di akhir zaman. Beliau adalah orang yang sangat bertaqwa.

Kalau setiap khabar dijadikan dalil untuk membuat sebuah MANHAJ. Maka kita akan temukan banyak sekali MANHAJ. (Ini tidak masalah, selama hal ini tidak dipaksakan kepada orang lain). Atau dijadikan tanda/simbol merekalah satu-satunya kelompok yang selamat/yang ditolong (FIRQATUN NAJIYAH/THAIFAH MANSHURAH).

Contohnya dalam Alqur’an banyak sekali kita temukan khabar tentang para Nabi dan Rasul. Lalu kemudian kita buat namanya MANHAJ RUSULI (Pengikut 25 Nabi dan Rasul).

Dalam Alqur’an dan hadits banyak kita temukan pujian terhadap SAHABAT, lalu kita buat MANHAJ ASHABI. Atau banyak juga pujian terhadap JIBRIL lalu kita bentuk MANHAJ JIBRILI dst.

Keempat, pernyataan Syaikh Albani Rahimahullah, kenapa kita butuh simbol ini, alasannya karena banyaknya aliran sesat pada zaman ini? (Silahkan baca buku Biografi Syaikh Albani)

Pertanyaannya adalah apakah pada zaman FITNATUL KUBRA (Ali RA VS Muawiyah RA) tidak banyak aliran sesat? Lalu masa-masa setelahnya apakah juga tidak banyak aliran sesat?

Lalu kenapa para IMAM dan SALAFUS SHALIH pada saat itu tidak memproklamirkan MANHAJ SALAFY. Justru yang disepakati adalah AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH (ini menjadi sumber hukum karena IJMA’/kesepakatan). Karena kesepakatan adalah (salah satu) sumber hukum Islam. Sedangkan MANHAJ SALAF belum pernah menjadi IJMA’.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, BAGAIMANA JIKA KEMUDIAN ORANG-ORANG MENGAKU ber-MANHAJ SALAF itu kemudian rusak lagi dan berpecah belah, terbukti saat ini SALAFY telah terbelah menjadi berbagai kelompok ADA SALAFY JIHADI, SALAFY ILMI, SALAFY HARAKI, SALAFY YAMANI, Ada SALAFY-nya SYAIKH ABDUR RAHMAN ABDUL KHALIQ, SALAFY-nya LUQMAN BAABDUH, SALAFY-nya USAMAH, SALAFY SYAIKH SAFAR, SALAFY-nya SYAIKH ALBANI, SALAFY-nya SYAIKH AL QARNI, SALAFY-nya SYAIKh MUQBIL, SALAFY-nya SYAIKH RABI’ Rahimahumullah dll.

Apakah kemudian kita membuat SIMBOL Baru lagi? Misalnya QADIMI?

Sekali lagi mari kita kembali kepada penisbatan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya yaitu menjadi MUSLIM/MUKMIN/MUTTAQIIN.

Mohon maaf, bila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Oleh Haryanto (PSDM)
hyanto@sucofindo.co.id

sumber:

http://swaramuslim.net/more.php?id=5572_0_1_0_M

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikannya, niscaya Allah jadikan dia paham terhadap agama-Nya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya Kitabul Ilmi bab Man Yuridillahu Khairan Yufaqqihhu fid Dien dari Muawiyah bin Abi Sufyan hadits ke 71)

YUFAQQIHHU fid DIIN adalah menjadikannya Faqih dalam masalah agama. Dan orang yang faqih adalah orang yang bisa memahami dalil-dalil. Jadi bukan cuma membaca dari sana-sini, lalu mengikuti kesimpulan dari bacaan itu. Orang yang hanya bisa mengikuti kesimpulan yang ditulis oleh orang lain, padahal realita di depan matanya tidak sama dengan realita di depan mata si pengarang tulisan itu, maka orang seperti ini adalah orang yang hanya sekedar TAHU atau HAFAL, dan bukan merupakan seorang yang Faqih.

Tidaklah sama orang yang hanya hafal ayat dan hadits dengan orang orang-orang yang bisa memahami ayat dan hadits itu meskipun orang yang paham ini tidak hafal ayat dan hadits yang bersangkutan. Sesungguhnya, orang-orang yang paham (faqih) jauh lebih baik dari orang-orang yang hanya hafal dalil.

Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya.”
Shahih al-Jami’as-Shaghir (6763-6766)

Fadzakkir, inna fa’ati dzikra.”

Ayat di atas adalah ayat ke-9 dari surat Al-A’laa (surat 87).

Dalam terjemahan Depag, artinya adalah:

“oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfa’at, “

Akan tetapi, ada penafsiran yang lebih baik mengenai ayat ini. Kalau kita lihat bahasa Arab-nya, akan kita temukan bahwa arti ayat itu seharusnya adalah:

“oleh sebab itu berikanlah peringatan, jika peringatan itu bermanfa’at, “

Maksudnya, janganlah kita “asal saja” dalam memberikan peringatan. Tugas kita sebagai ummat Islam bukan sekedar menyampaikan ilmu, nasehat, atau peringatan. Apalagi kalau hanya sekedar didasari oleh alasan “yang penting dalilnya shahih”, atau alasan-alasan lainnya.

Tugas kita sebagai ummat Islam adalah memperhatikan objek dakwah kita, dan memperkirakan bagaimana akibatnya seandainya objek dakwah kita itu mendapat masukan dari kita. Setelah kita yakin bahwa hasilnya baik, maka barulah kita sampaikan apa-apa yang harus kita sampaikan.

Kesimpulannya. dakwah Islam itu bukan sekedar “menyampaikan dalil”, tapi juga harus memperhatikan kesiapan si objek dakwah.

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ibnu Katsir ketika beliau menafsirkan ayat di atas.

Prinsip utama dalam dakwah Islam itu bukanlah “asal dalil shahih”.
Prinsip utama dalam dakwah Islam itu juga bukan “yang penting aqidah”.

Prinsip utama dalam dakwah Islam itu adalah mengajarkan kepada orang lain, dan materinya disesuaikan dengan kemampuan orang tersebut untuk menerima bobot materi yang akan disampaikan.

Musaddad bercerita kepada kami. Dia berkata, “Mu’tamir bercerita kepadaku.” Dia berkata, “Saya mendengar dari bapak saya,” Dia berkata, “Saya mendengar Anas yang berkata, bahwa Nabi mengatakan kepada Muadz, “Barangsiapa yang menghadap Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa-pun, maka dia masuk surga.” Muadz berkata, “Tidakkah lebih baik jika kusampaikan kepada orang banyak ?” Nabi bersabda, “Jangan! Sesungguhnya aku takut mereka akan berpasrah diri.”
(HR. Bukhari).

Inilah dakwah Islam yang lurus. Inilah cara beragama yang benar. Yang memperhatikan kesiapan orang lain dalam menerima materi Islam. Yang tidak hanya berprinsip “asal dalil shahih”. Yang tidak hanya berprinsip “yang penting aqidah”. Karena, apa yang dilarang untuk disampaikan oleh Rasulullah pada hadits di atas juga adalah tentang aqidah.

Dengan cara dakwah seperti inilah Islam dahulu tersebar dengan penuh kebijakan. Dan, tentu saja, dengan cara dakwah seperti ini Insya Allah tidak akan muncul banyak pertentangan di kalangan ummat Islam sendiri.

Next Page »