Ada saja orang-orang ringkih yang melihat carut-marut kondisi umat Islam sebagai kesalahan adanya madzhab dalam ilmu fiqih. Mereka melempar kesalahan itu kepada para ulama besar pendiri madzhab fiqih itu. Lalu dengan gagah mengatakan bahwa madzhab dirinya adalah “tidak bermadzhab”.

 

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab yang para ulama sesudahnya merasa berhutang pengetahuan kepadanya. Ia ulama mandiri, dalam ijtihad maupun dalam soal sumber pendapatan. Mengongkosi kebutuhan salah satu muridnya, Abu Yusuf sekaligus keluarganya, selama dua puluh tahun. Tapi ketika Abu Yusuf mengatakan kepada Abu Hanifah, “Aku belum menemukan orang yang lebih dermawan daripada engkou,” Abu Hanifah menjawab, “Bagaimana kalau engkau mengenal guruku (Hamad bin Abi Sulaiman) ? Aku tidak mendapati orang yang berkumpul dalam dirinya bermacam kebaikan seperti dia.”

Orang-orang angkuh itu mengatakan, bahkan di mimbar masjid saat ia punya sedikit kesempatan untuk berkhotbah, bahwa madzhab itu memecah belah ummat Islam. Padahal ia sendiri tidak melakukan apa pun untuk mempersatukan ummat IslamPadahal ilmunya tidak ada seujung kuku ilmu Imam Malik. Yang disebut sebagai Imam-nya kota Madinah, Imam Negeri Hijrah. Yang selalu bersuci sebelum mengajarkan hadits.

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku ilmu Imam Syafi’i. Yang hafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun, lalu menghafal hadits dan tafsir di usia tiga belas tahun. Ia berguru pada banyak sekali ulama. Yang sekitar sepuluh sampai tujuh belas tahun mendalami bahasa Arab fasih dari kabilah Hudzail, kabilah paling fasih dalam bahasa Arab.

Padahal ilmunya tidak ada seujung kuku Imam Ahmad, yang menurut Abu Zur’ah, hafal satu juta hadits. Yang karena ketakwaannya membuat jin yang mengganggu soerang perempuan takut kepada terompah Imam Ahmad dan kabur meninggalkan perempuan itu.

Seperti mereka yang antipati dengan dunia kekuasaan, karena melihat jalan menuju ke sana adalah belantara politik yang penuh kotoran. Tidak berminat dengan kekuasaan dalam arti tidak mau berpartispasi, tidak sama dengan menolak kekuasaan sebagai bagian dari ajaran agama. Islam tidak memisahkan antara kekuasaaan dan kehidupan sipil. Sebagaimana Islam tidak memisahkan antara pentingnya masjid dan pentingnya pasar. Masing-masing saling melengkapi. Tetapi di sini juga ada godaan pemanis keangkuhan. Netralitas adalah godaan keangkuhan. Ia bisa menjadi pemanis. Tapi menipu.

Orang-orang lemah datang menyelesaikan masalah dengan me-negasi dan menolak segala hal. Meski itu hanya dengan bicara dan berkata-kata. Maka masalah tak pernah selesai.

Orang kuat datang menyelesaikan masalah pertama kali dengan sikap tahu diri akan dirinya sendiri. Lalu merangkai dan menjahit dengan penuhkesabaran apa-apa yang sudah ada. Termasuk menghormati dan menghargai jasa orang lain yang juga punya kontribusi.

Disalin dari artikel “Pemanis-Pemanis Keangkuhan”, dari majalah Tarbawi Edisi 195 Th.10 Shafar 1430H, 22 Januari 2009
Tema utama edisi tsb adalah : “Orang-orang yang Mempermanis Keangkuhan”.

————

Pesan dari saya (e0d0i):
1. Semoga kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak pernah berusaha menyelesaikan masalah, tapi malah sibuk dengan omongan.
2. Mari kita hormati para pejuang yang sedang memperjuangkan ummat Islam di-manapun mereka berada, baik mereka guru, hakim, polisi, karyawan anggota DPR, ataupun lainnya.
3. Contoh mudah “orang-orang kuat” adalah para pejuang perbankan syariah di negeri ini. Mereka rela berbaur dengan debu-debu realita pada awalnya, untuk  kemudian berhasil memberikan solusi yang lebih baik kepada ummat ini. Maka, kalau kita memang tidak punya solusi, memang tidak punya kontribusi atau memang tidak pernah punya keinginan untuk mau mencarikan solusi atau mau memberikan kontribusi, minimal sekali, marilah kita belajar untuk menghormati orang lain yang berusaha mencari solusi dan berusaha memberikan kontribusi.

Telah terbit e-book baru dengan judul:

Islam, Pemilu dan Demokrasi

(Sebuah Antitesis Atas Pemikiran Kelompok Salafy)

Silakan download e-book ini pada link berikut: >> LINK <<

Komentar untuk posting ini di-non-aktifkan.

Komentar silakan disampaikan via link di atas.

Washil bin Atha’ (699-748M), pemimpin aliran Mu’tazilah, suatu ketika bersama rombongannya memasuki daerah yang didominasi oleh kelompok Khawarij, suatu kelompok ekstrim yang sering mengkafirkan sesama muslim, bahkan tidak segan membunuh sesama muslim. Semboyan kelompok Khawarij ini adalah “Tiada hukum kecuali dari Allah”.

Ketika tiba di daerah tersebut, rombongan Washil bin Atha’ gelisah. Namun dengan tenang Washil tampil sambil berkata: “Perlakukanlah kami sesuai petunjuk Allah dalam Al-Qur’an!”

Kelompok Khawarij bertanya, “Siapa kalian?”

Washil menjawab, “Kami adalah orang-orang musyrik.”

Kelompok ekstrim itu menyadari bahwa Al-Qur’an menegaskan:
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. ” (QS At-Taubah ayat 6)

Benar juga dugaan Washil. Mereka lalu diterima, bahkan dilindungi dan dijamu, kemudian diantar ke tempat tujuan.

(Quraish Shihab, Lentera Hati).

Saat ini, kalau kita mengaku bahwa kita memasuki parlemen itu untuk tujuan berdakwah, biasanya ada saja kelompok yang merasa kebakaran jenggot.
Tapi kalau kita mengaku bahwa masuknya kita ke dalam parlemen itu adalah dalam rangka mencari nafkah dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan dakwah, biasanya kita tidak akan dibid’ah-bid’ahkan lagi.

Benar, kadang-kala kita bisa menggunakan jawaban yang cerdas untuk meredam sikap-sikap ekstrim dari kelompok yang memang ekstrim.

Ketika ada sebagian ummat Islam yang berinisiatif untuk masuk parlemen dan berdakwah di dalamnya, serta berdakwah dengan menggunakan fasilitas parlemen tersebut, ternyata ada juga sebagian ummat Islam lain yang merasa kebakaran jenggot.

Tapi sebaliknya, ketika orang-orang yang tidak peduli pada Islam menjadi anggota parlemen, dan mereka di dalam parlemen itu hanya sibuk mencari makan bagi dirinya dan kelompoknya sendiri, ternyata kelompok yang kebakaran jenggot tadi justru tidak bersuara.

Sebenarnya, yang menjadi masalah itu apa ?

Apakah masuk parlemen dengan tujuan dakwah itu salah ?
Dan apakah masuk parlemen dengan tujuan cari makan itu benar ?

Kalau kita bertemu dengan kelompok yang kebakaran jenggot tersebut, mungkin lebih baik kita katakan saja bahwa tujuan kita memasuki parlemen adalah untuk mencari makan, bukan untuk tujuan dakwah.
Dengan begitu, mungkin kita tidak akan dibid’ah-bid’ahkan lagi.

Salah satu alasan yang sering digunakan oleh kelompok anti partai untuk menyalahkan dakwah politik adalah, karena keberadaan partai-partai itu identik dengan fanatisme yang berlebihan terhadap masing-masing partai. Dan mereka juga menyebutkan bahwa atribut Islam yang menempel pada satu atau beberapa partai yang ada, biasanya digunakan sebagai modal untuk mencari suara. Dengan kata lain, Islam dijadikan komoditi atau barang dagangan untuk bisa mendapatkan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.

Padahal, ini adalah sudut pandang yang su’udzhon.

Kalau atribut Islam yang menempel pada partai-partai Islam adalah sudah pasti merupakan barang dagangan yang digunakan untuk meraih kepentingan pribadi atau kelompok, maka bagaimana dengan partai Islam yang menyuarakan aspirasi ummat di parlemen ?
Apakah mereka juga sedang mencari muka untuk diri mereka dan partai mereka ?

Bagaimana pula dengan atribut Islam lainnya di parlemen, seperti pengucapan salam saat memulai rapat ?
Apakah pelakunya akan kita katakan sebagai orang yang “sedang mencari muka dengan cara mengucapkan salam di muka umum” ?

Kalau kita memang setuju dengan pola pikir su’udzhon ini, disadari atau tidak, ini artinya kita setuju bahwa semua atribut Islam harus hilang dari partai-partai, dan semua atribut Islam juga harus hilang dari parlemen kita. Persis seperti proses sekularisasi di Turki dahulu. Bedanya, di Turki hal-hal yang berbau Islam dianggap ketinggalan zaman, sementara di Indonesia, menurut kelompok yang su’udzhon ini, Islam sudah pasti dijadikan barang dagangan untuk meraih kepentingan pribadi. Meskipun alasannya beda, tapi hasilnya sama: mendukung sekularisasi.

Benar, ini adalah pola pikir su’udzhon,
meskipun kadang kala dibungkus dengan alasan-alasan yang terlihat islami.

Di kalangan ummat Islam, ada juga kelompok yang sangat tidak menyukai munculnya partai Islam. Apalagi kalau partai Islam itu mengaku juga sebagai partai dakwah.

Sederhananya, bagi mereka yang tidak suka terhadap partai tersebut, kehadiran partai Islam adalah cerminan makin jauhnya ummat Islam dari agamanya.

Kalau begitu, mari kita usulkan saja kepada mereka, “Bagaimana kalau semua partai Islam ganti kulit saja menjadi partai nasionalis, menjadi partai demokratis atau kalau perlu menjadi partai kristen ?

Mungkin dengan begitu, mereka bisa lebih bersuka ria.

Ada orang yang berkata bahwa, dahulu, pembentukan kerajaan Saudi adalah satu hal yang harus dibenarkan.
Lalu dicarilah berbagai pembenaran atas pendapat tersebut,
entah itu dengan menyebutkan bahwa “kekhalifahan Turki Utsmani wilayahnya tidak mencakup semenanjung Arabia”, ataukah alasan-alasan lainnya.

Padahal saat itu, kita punya satu kekhalifahan Islam.

Orang yang sama juga mengatakan bahwa, sekarang, di Indonesia, politik adalah satu hal yang “harus dijauhi”.
Lalu dicarilah berbagai pembenaran atas pendapat tersebut.

Padahal saat ini, dunia pemerintahan kita adalah dunia yang sangat-sangat membutuhkan perbaikan.

Ada kontradiksi di sini.
Di saat ummat Islam punya sistem kekhalifahan yang Islami, kita boleh mendirikan kerajaan sendiri dan melawan kekhalifahan itu ?
Dan di saat ummat Islam terkurung oleh sistem kufur, kita harus taat dan sama sekali tidak boleh mengubah sistem tersebut ?

Mungkinkah hukum bid’ah itu berubah, dahulu benar, dan sekarang salah ?

Hanya orang-orang yang bersih hatinya-lah yang bisa menerima pesan dari tulisan ini.

Sebagian ummat Islam, yang sering over-generalisir terhadap banyak masalah, sering menyebutkan bahwa keberadaan partai-partai Islam adalah bid’ah.
Alasannya, karena keberadaan partai-partai Islam tersebut akan memecah belah ummat Islam.

Mari kita lihat dunia internasional,
pada saat sebuah kerajaan di semenanjung Arabia berkutat untuk bisa memproklamirkan dinasti baru-nya.
Padahal, pada saat itu kekhalifahan Turki Utsmani adalah kekhalifahan ummat Islam sedunia.

Maka, apakah mendirikan kerajaan Islam di luar kekhalifahan adalah sebuah kebid’ahan ?
Apakah ini juga termasuk dalam bab “telah memecah belah ummat Islam” ?

Kalau jawaban dari dua pertanyaan di atas adalah “tidak”,
maka seharusnya kita juga bisa bersikap bijaksana terhadap keberadaan partai-partai Islam di negara kita.

Kecuali kalau kita ingin meninggalkan prinsip keadilan dalam bersikap,
dan kejujuran dalam berpendapat.

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS Al-Muthaffifin, ayat 1-3)

Sebagian ummat Islam, yang mengaku diri sebagai kelompok paling salaf, sering berkata bahwa pembentukan kerajaan Saudi di semenanjung Arabia adalah satu hal yang benar. Alasannya, karena wilayah kekhalifahan Turki Utsmani saat itu tidak mencakup semenanjung Arabia. Artinya, kerajaan Saudi tidak memberontak kepada kekhalifahan Turki Utsmani (Kekhalifahan Turki Utsmani sendiri adalah kekhalifahan ummat Islam sedunia pada saat itu.)

Benar sekali,
kalau memang semenanjung Arabia tidak termasuk ke dalam wilayah kekhalifahan Turki Utsmani pada saat itu, berarti kerajaan Saudi memang tidak memberontak kepada kekhalifahan Turki Utsmani.

Tapi mari kita lihat dari sudut pandang lain.

Kalau kita adalah seorang muslim yang baik, maka apa yang harus kita lakukan terhadap kekhalifahan Islam yang ada ?

Tentu saja, kita harus mendukung kekhalifahan tersebut.
Atau minimal, menjalin hubungan baik.
Atau lebih minimal lagi adalah, tidak mencari pertentangan dengan kekhalifahan tersebut.
Dan hal ini-lah yang gagal dilakukan oleh pendiri kerajaan Saudi pada masa itu.

Anyway,
keberadaan kerajaan Saudi pada masa ini bisa jadi merupakan satu anugerah untuk kita semua.
Tapi anugerah pada masa ini, tidak bisa menutupi kesalahan di masa lalu.
Bagaimanapun, sebagai ummat Islam, kita dituntut untuk bisa melihat kebenaran dan kesalahan, dan menempatkannya pada tempatnya masing-masing.

——
Lihatlah sumber sejarah yang resmi:
http://www.saudiembassy.net/Country/History.asp

Tertulis: “The popularity and success of the Al-Saud rulers aroused the suspicion of the Ottoman Empire, the dominant power in the Middle East and North Africa at the time.

Dahulu, Rasulullah saw memperjuangkan Islam dari nol.
Ketika Islam mulai memasuki masa-masa jaya di Madinah, beliau memproklamirkan berdirinya sebuah pemerintahan Islam, dan bukan kerajaan Bani Muhammad, Bani Abdul Muthallib, Bani Hasyim, Bani Quraisy, atau lainnya.

Pada abad 18 masehi, sejarah kerajaan Arab Saudi dimulai ketika Muhammad Ibnu Saud (penguasa Dir’iyyah) bergabung dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (seorang ulama) dan kemudian membentuk satu kekuatan baru di jazirah Arab.

Perjuangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri banyak disebut sebagai revolusi aqidah Islam.

Akan tetapi, hasil dari perjuangan tersebut adalah terbentuknya sebuah kerajaan, yaitu kerajaan Arab bani Saud, dan bukan sebuah kekhalifahan Islam.

Apakah akan kita katakan bahwa dakwah di Saudi adalah dakwah yang bersifat hizbiyyah karena menghasilkan kerajaan yang mengagung-agungkan keturunan rajanya ?
Ataukah akan kita katakan bahwa pembentukan kerajaan Saudi adalah suatu hal yang lumrah karena mendirikan kekhalifahan Islam yang membawahi seluruh muslim di dunia adalah satu hal yang sulit ?

Sepertinya, pertanyaan yang kedua lebih bisa diterima oleh akal yang jernih dan hati yang jujur.

Maka,
manakala perjuangan kita tidak bisa mencakup seluruh ummat Islam,
tidak ada salahnya kita membuat kelompok terlebih dahulu.
Tentunya, dengan syarat bahwa kelompok kita itu tidak kita yakini sebagai satu-satunya kelompok yang akan masuk surga. Cukup yakini saja bahwa keberadaan kelompok itu adalah satu hal yang bisa mendorong amal-amal kita.

Tapi kalau keberadaan kelompok di dalam ummat Islam dipukul rata sebagai suatu hal yang bid’ah, sesat dan menyesatkan,
maka seharusnya kita juga menggelari Saudi Arabia dan semua negara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah, karena tidak mau membentuk satu kekhalifahan, dan malah membentuk negara masing-masing.

Sampai di sini, masih jernihkah akal kita dan masih jujurkah hati kita ?