Satu hal yang sering menimbulkan banyak masalah di kalangan ummat ini adalah, ketika “mencari dalil” hanya dilihat dari “ada tidaknya dalil itu saja”, tapi tidak melihat bahwa pemahaman diri kita masing-masing adalah juga penting.

Akibatnya, ada sebagian ummat Islam yang giat menyalah-nyalahkan satu hal, tapi kemudian malah mendukung hasil dari “hal yang salah” itu. Hal ini disebabkan karena ada dalil yang “menyalahkan hal itu” tapi ada juga dalil yang mendukung hasil dari “hal yang salah itu”.

Implementasinya, misalnya dalam masalah pemilu.

Sebagian ummat Islam mati-matian menolak pemilu dengan alasan bahwa demokrasi adalah haram. Dalilnya adalah karena demokrasi tidak sama dengan musyarawah. Sedangkan, pada sisi lain, kelompok ini justru mati-matian berprinsip bahwa kita sebagai ummat islam harus punya pemimpin, dan kita sebagai ummat Islam juga harus taat kepada pemimpin kita itu, tanpa melihat apakah dia terpilih dari sistem demokrasi, sistem musyawarah, sistem keturunan (misalnya anak raja) atau sistem lainnya lagi.

Ini adalah satu contoh dimana agama hanya dilihat dari sudut ilmu-nya saja, tapi tidak dilihat dari segi pemahaman yang utuh. Ini adalah salah. Dan yang benar adalah, bukan sekedar ada dalil-nya atau tidak ?”, tapi harus sampai pada apakah kita mampu memahami dalil-dalil itu secara utuh atau tidak ?

Buktinya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS Al-Israa, ayat 36).

Mereka, kelompok di atas, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” adalah adanya dalil atau tidak. Oleh karena itu, mereka tidak ingin campur tangan dan bahkan melarang orang lain untuk ikut pemilu, karena ada dalil yang melarangnya. Tapi sebaliknya, mereka memerintahkan diri mereka sendiri dan orang lain untuk mentaati pemimpin yang terpilih dari pemilu itu, juga karena ada dalil yang memerintahkan hal itu.

Kalau ditanya tentang kontradiksi itu, mereka akan menjawab, “Tugas kita hanyalah mengikuti dalil yang ada. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk memahami kontradiksi itu.”

Maka, sampaikanlah pada mereka bahwasanya ayat di atas masih memiliki lanjutan, yaitu:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ”

Kalau kita tidak paham atas kontradiksi yang telah kita lakukan, maka bagaimana kita akan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan kita itu ?

Kesimpulannya, kalau kita hanya hafal dalil-dalil dari setiap cabang masalah, maka berarti kita masih taklid dalam memahami dalil dan masalah itu secara utuh. Padahal, kita sebagai ummat Islam diperintahkan untuk ittiba’. Dan ittiba’ itu maknanya adalah “memahami “, jadi bukan “sekedar tahu dalil”.