Selama ini orang awwam hanya mendengar selentingan mengenai Salafy, secara tidak langsung pengetahuan mereka terhadap Salafy masih buta. Sedangkan di satu sisi kelompok Salafy di Indonesia bergerak secara diam-diam dan berkedok berbagai macam dengan mengambil beberapa nama.

Namun secara garis besar bahwa komunitas Salafy di Indonesia terpecah dalam dua kelompok besar yang satu sama lain sebenarnya saling “bermusuhan”. Satu kelompok ialah Salafy Yamani yang merupakan kelanjutan dari Laskar Jihad di masa lalu, dan mereka merupakan jaringan para dai Salafy yang berafiliasi kepada Syaikh-Syaikh Salafy di Yaman dan Timur Tengah. Sedangkan satu kelompok lagi ialah Salafy Haraki, yaitu dakwah Salafiyah yang menerapkan sistem pergerakan atau organisasi (Haraki)

Kedua pihak di atas sama-sama Salafy, terutama jika dipandang oleh pihak-pihak di luar keduanya. Tetapi uniknya kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan-perbedaan signifikan dalam pemikiran dan perilaku dakwahnya, sehingga keduanya tidak mungkin disatukan dalam satu sebutan. Jika kita menyebut mereka dengan satu sebutan saja (yaitu Salafy), maka keduanya akan mengklaim sebagai pihak yang paling berhak atas sebutan itu. Demikianlah yang terjadi selama ini. Jika kita menyebut Salafy Yamani dengan sebutan Salafy saja, pihak yang satunya pasti keberatan, sambil berkata, “Mereka bukan Salafy. Hanya bajunya saja yang Salafy.” Sebaliknya jika kita menyebut Salafy Haraki dengan sebutan Salafy, maka pihak yang satunya lagi juga keberatan, sambil berkata, “Mereka bukan Salafy, tetapi Salaf(i), yaitu Salaf imitasi.” Apapun istilah yang dianggap lebih tepat dan diridhai oleh kedua kalangan, maka penggunaan istilah Salafy Yamani dan Salafy Haraki dalam buku ini hanya untuk tujuan identifikasi, bukan tujuan lain-lain.

Penjelasan seputar istilah Salafy Yamani sudah disebutkan di bagian sebelumnya. Disini perlu dijelaskan lebih jauh tentang Salafy Haraki. Salafy Haraki adalah gerakan dakwah Salafiyah yang menerapkan metode pergerakan (Harakiyah). Metode tersebut meskipun tidak sama persis, serupa dengan metode yang ditempuh oleh jamaah-jamaah dakwah Islam, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Tabligh (JT), Jamaat Islam (JI), Negara Islam Indonesia (NII), dll. Pola Haraki (Pergerakan) inilah yang membedakan kelompok ini dengan Salafy Yamani dan Salafy-Salafy independen yang tidak mengikatkan diri dengan jamaah, madrasah, atau organisasi manapun.

Salafy Yamani sangat menolak metode pergerakan (Harakiyah), sebab hal itu dianggap sebagai bid’ah dan merupakan praktik fanatisme (hizbiyah). Sementara kalangan Salafy Haraki membutuhkan sistem organisasi (tanzhim) untuk membina dakwah di tengah berbagai fitnah kehidupan modern. Mereka menganggap penerapan sistem organisasi itu sebagai bentuk ijtihad yang diperbolehkan dalam Islam. Kedua belah pihak menempuh pendapat masing-masing dan bertahan dengan pendapat yang diyakininya.

Di kalangan Salafy Yamani dan sebagian ulama-ulama Salafy, baik di Yaman atau Timur Tengah pada umumnya ada istilah yang kerap dipakai untuk menyebut komunitas Salafy Haraki ini, yaitu Sururi atau Sururiyah. Dinamakan Sururi sebab tokoh yang dianggap menjadi perintis gerakan ini ialah Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin, seorang mantan tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) asal Syria yang pernah tinggal di Saudi. Muhammad Surur adalah pemimpin yayasan Al Muntada’ Al Islamy yang berpusat di London. Lembaga ini mengkoordinasikan majlis-majlis dakwah Salafiyah yang berpola pergerakan. Selain Muntada Al Islamy, ada organisasi serupa yang berpusat di Kuwait, yaitu Jum’iyyah Ihya’ut Turats Al Islamy, yang dipimpin oleh Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, seorang mantan tokoh IM juga. Salafy Haraki akhirnya identik dengan dua organisasi dakwah ini, meskipun di luar keduanya masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menempuh metode serupa. Ciri khas mereka, yaitu menerima ajaran-ajaran Salafiyah dan menerapkan pola pergerakan dalam dakwahnya.

Perselisihan antara kelompok Salafy Yamani dengan Haraki sangat tajam. Pihak Yamani menyebut kelompok Haraki sebagai ahluk bid’ah sehingga berhak direndahkan serendah-rendahnya. Dalam tulisan yang berjudul Membongkar Kedustaan Abdurrahman At Tamimi AL Kadzab(dimuat oleh situs http://www.salafy.or.id), Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al Malanji mengutip pendapat ulama Salaf tentang cara memperlakukan ahlul bid’ah. Berikut kutipannya: “Mereka (Ulama Salaf) bersepakat dengan itu semua atas ucapan untuk bersikap keras terhadap ahlul bid’ah, merendahkan, menghinakan, menjauhkan, memutuskan hubungan dengan mereka, menjauhi mereka, tidak berteman dan bergaul dengan mereka, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan menghindar dan memboikot mereka.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal 123). Dalam praktik, sikap seperti ini benar-benar diterapkan oleh Salafy Yamani terhadap para Salafy Haraki.

Sedangkan pihak Haraki, mereka juga membela diri. Diantaranya seperti yang disebutkan oleh Mubarak BM. Bamuallim, LC. Dalam buku yang dia susun, Biografi Syaikh Al Albani: Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini, halaman 187, bagian catatan kaki. Disana Bamuallim menulis: “Sebagaimana yang terjadi di negeri ini (Indonesia), munculnya beberapa gelintir manusia dengan berpakaian Salafiyah, memberikan kesan seolah-olah mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namun hakikatnya mereka adalah pengekor hawa nafsu dan perusak dakwah Salafiyah, akibatnya mereka hancur berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri. Wal’iyadzubillah, kami memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari nasib serupa.”

Sejak awal tahun 80-an, terjadi perkembangan dakwah yang berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke Indonesia. Kebetulan, jika merunut sejarah, tahun 70-an merupakan tahun “Internasionalisasi” bagi jamaah-jamaah dakwah tertentu. Di tahun 80-an itu mulai muncul kelompok-kelompok dakwah, seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jamaah Tabligh (T), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Islamiyyah (JI), kelompok lokal seperti NII, Pesantren Hidyatullah, dll. Kelompok Salafiyah termasuk unik, sebab mereka masuk setelah jamaah-jamaah tersebut. Tetapi dari akar sejarah di Indonesia sebenarnya ajaran Salafiyah telah masuk sejak lama. Perjuangan tokoh-tokoh Islam di Sumatera Barat,Seperti Tuanku Imam Bonjol dan Kaum Paderi dalam menentang kolonial Belanda pada awal abad 19, merupakan pengaruh langsung dari dakwah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Dar’iyah, Arab Saudi.

Pengaruh dakwah Salafiyah itu kemudian berpengaruh secara relatif ke organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, Persatuan Islam dan lain-lain. Begitu pula dengan istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang diangkat oleh NU, hal itu tidak lepas dari usaha organisasi tersebut untuk membendung pengaruh dakwah Salafiyah Syaikh Abdul Wahhab yang sebelumnya telah mengangkat istilah itu.

Adapun gerakan dakwah Salafy Yamani dan Haraki, keduanya masuk ke Indonesia lebih belakangan. Salafy Haraki lebih dulu masuk, kemudian Salafy Yamani. Salafy Yamani dikenal dengan tokoh perintisnya yang di kemudian hari menjadi Panglima Laskar Jihad, yaitu Ustadz Ja’far Umar Thalib. Ustadz Ja’far ini semula bergabung dengan pihak Haraki. Hal itu dapat dibuktikkan ketika dia menulis artikel di majalah As Sunnah, milik kalangan Haraki. Di majalah As-Sunnah No.04/th.1/Sya’ban-Ramadhan 1413 H, Ja’far Umar menulis artikel berjudul Pokok-Pokok Memahami Ikhtilaful Ummah, hal. 10-17.

Dalam salah satu bagian artikel itu, Ja’far Umar menulis. “Jadi bagi yang ingin membaca penelitian Syeikh Salman (Salman Al Audah), silahkan baca buku aslinya dalam bahasa Arab. Buku ini cukup membantah keterangan Dr. Yusuf Qardhawi dan orang-orang yang semacamnya yang mendhaifkan hadits ini atau menolaknya.” (Hal. 13) penjelasan Ja’far Umar itu akan terasa aneh jika kemudian kita tahu betapa besar kebencian dan murid-muridnya di Indonesia terhadap Salman Al Audah. Bahkan Salman Al Audah ini sering sekali disebut-sebut oleh Salafy Yamani sebagai tokoh Besar di balik Salafy Haraki, bersama Syaikh Shalih Al Munajjid, Safar Al Hawali, Aidh Al Qarni, dll.

Sampai As Sunnah Edisi 15/th. II, di sana masih memuat tulisan Muhammad bin Umar As Sewed berjudul Ancaman Bagi yang Berbicara Masalah Dien dengan Menggunakan Ra’yu (Hal. 23-28), bersebelahan dengan tulisan Abdurrahmah At Tamimi, tokoh penting Al Irsyad Al Islamy di Jawa Timur yang sangat tidak disukai oleh Salafy Yamani. Di kemudian hari setelah Ja’far Umar ditinggalkan oleh komunitas Salafy Yamani, As Sewed naik menggantikan posisinya.

Pada awalnya, Salafy Yamani ikut bergabung dengan majalah As Sunnah, tetapi tahun 1995 mereka mengadakan majalah sendiri dengan nama Salafy. Masih dari majalah As Sunnah edisi 15/th. II, di sanadisebutkan ucapan selamat atas terbutnya majalah Salafy. Berikut ucapannya: “Seluruh Kerabat Kerja Majalah As Sunnah mengucapkan: Selamat atas terbitnya Majalah Salafy. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kekuatan dan kemudahan dalam mengajak umat kepada manhaj Salaf ash Shalih.” (Hal. 20). Hal ini menjadi bukti lainnya bahwa semula antara Salafy Yamani dan Haraki terdapat hubungan baik.

Sejak munculnya majalah Salafy suasana dakwah di Indonesiaterasa mulai memanas, sebab majalah ini begitu keras dalam menentang dan menyerang kelompok-kelompok Islam yang dinilai menyimpang. Sebenarnya majalah As Sunnah juga bersikap keras, tetapi tidak sekeras Salafy. Pihak yang paling banyak diserang oleh majalah Salafy ialah Ikhwanul Muslimin (IM) dan tokoh-tokohnya seperti Hasan Al banna, Yusuf Qardhawi, Sayyid Quthb, Hasan Turabi, dll. Kalau membaca majalah Salafy, nuansa konfliknya segera terasa. Mungkin, hal itu dianggap sebagai aplikasi sikap keras terhadap ahlul bid’ah.

Yang tidak dapat ditemukan dari sikap Ja’far Umar dan ustadz-ustadz di kalangan Salafy Yamani ialah sikap hikmah. Mereka menyerang dengan keras, seolah orang-orang yang diserang itu bukan manusia, sehingga tidak perlu diperhitungkan perasaannya. Sebagai perbandingan, jika ada orangtua musyrik yang memerintahkan anak-anaknya berbuat kemusyrikan, maka anak-anaknya dilarang mentaati perintah itu, tetapi mereka tetap diperintahkan tetap bersikap baik kepada keduanya. Tetapi mengapa ketika terhadap sesama saudara muslim mereka halal menghina, merendahkan bahkan mengkafirkan?

Seperti sekitar awal 1996 melalui majalah Salafy, Ja’far Umar melontarkan celaan yang sangat besar terhadap Yusuf Al Qardhawi. Di sana Ja’far menyebut Qardhawi sebagai Aduwwullah (Musuh Allah) dan Yusuf Al Quraizhi ( Yusuf dari suku Quraizhah Yahudi Madinah). Kedua sebutan ini tentu konsekuensinya ialah mengkafirkan Yusuf Al Qardhawi. Ini adalah contoh sikap berlebihan Ja’far Umar dan para pengikutnya. Kemudian beliau berkonsultasi dengan gurunya, Syeikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i di Yaman, tentang kedua sebutan itu. Ternyata, guru beliau ini juga menganggap sebutan itu keliru, lalu beliau menetapkan sebutan lain yang menurutnya lebih baik, yaitu Yusuf Al Qaradha (Yusuf Sang Penggunting, maksudnya menggunring Sunnah Syariah Islam). Akhirnya, Ja’far Umar secara sportif mengakui bahwa sebutan yang dia tetapkan tidak adil dan hal itu dimuat di Salafy edisi selanjutnya, (Salafy, edisi 3/Syawal 1416, 1996).

Diambil dari:

http://kupretist.multiply.com/tag/inside%20salafy