Dewan Fiqh Islam pada Konferensi sesi ke 19 yang diselenggarakan di pusat Liga Muslim Se-Dunia di Makkah pada tanggal 22-27 Syawwal 1428 H (2-8 November 2007) sudah mendalami isu tentang “Boleh tidaknya seorang muslim ikut serta (menjadi caleg) dalam pemilihan umum di negara non-muslim”. Ini adalah salah satu topik yang diskusinya sudah disempurnakan dalam konferensi ke 16 yang telah diadakan tanggal 21-26 Syawwal 1422H, dengan tujuan agar bisa diteliti dengan detil.
Setelah mendengar hasil penelitian yang telah dipresentasikan dan hasil diskusi tentang hal itu, akhirnya dewan memutuskan:
1. Partisipasi seorang muslim dan non-muslim dalam pemilihan umum (menjadi caleg) di negara non-muslim adalah salah satu masalah syar’i dalam politik, di mana pertimbangan tentang hal tersebut harus diputuskan berdasarkan besar kecilnya manfaat serta mudharat-nya, dan fatwa tentang hal tersebut adalah fatwa yang bisa jadi berubah-ubah tergantung waktu, tempat dan situasi.
2. Adalah dibolehkan bagi seorang muslim yang telah menikmati hal-hak kewarganegaraan di sebuah negara non-muslim untuk berpartisipasi (menjadi caleg) dalam pemilihan umum di negara tsb, karena hal itu bisa memberikan banyak manfaat seperti memberikan image tentang Islam, menangkal isu-isu negatif tentang islam di negar tsb, mensupport orang-orang muslim dan orang-orang minoritas, menguatkan posisi mereka, dan bekerja sama dengan orang-orang yang fair dalam kebenaran dan keadilan. Akan tetapi partisipasi tsb harus disertai dengan syarat berikut:
(i) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus sadar bahwa keikutsertaan dia seharusnya ditujukan untuk mendukung kaum muslimin, dan untuk mencegah munculnya kerugian pada pihak muslim.
(ii) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus berfikir bahwa partisipasi mereka akan membawa efek yang positif yang akan menguntungkan kaum muslimin di negara tersebut, seperti mensupport keberadaan kaum muslimin, menyampaikan aspirasi kaum muslimin kepada pemimpin negara tsb, dan menjaga agama islam serta dunia Islam dari gangguan yang mungkin ada..
(iii) Partisipasi seorang muslim (menjadi caleg) dalam pemilu ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan kewajiban agamanya.
Wallaahu waliyuu at-taufiq, wasalamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wasohbihi.
———
حول موضوع : مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين
الحمد لله وحده ، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده ؛ نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أما بعد:
فإن مجلس المجمع الفقهي الإسلامي في دورته التاسعة عشرة المنعقدة بمقر رابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة في الفترة من 22ـ27 شوال 1428هـ التي يوافقها3ـ8 نوفمبر2007م قد نظر في موضوع : ” مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين في البلاد غيّر الإسلامية” وهو من الموضوعات التي جرى تأجيل البت فيها في الدورة السادسة عشرة المنعقدة في الفترة من 21ـ26 شوال 1422هـ لاستكمال النظر فيها..
وبعد الاستماع إلى ما عرض من أبحاث، وما جرى حولها من مناقشات، ومداولات، قرر المجلس ما يلي:
1. مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين في البلاد غير الإسلامية من مسائل السياسة الشرعية التي يتقرر الحكم فيها في ضوء الموازنة بين المصالح والمفاسد، والفتوى فيها تختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأحوال.
2. يجوز للمسلم الذي يتمتع بحقوق المواطنة في بلد غير مسلم المشاركة في الانتخابات النيابية ونحوها لغلبة ما تعود به مشاركته من المصالح الراجحة مثل تقديم الصورة الصحيحة عن الإسلام، والدفاع عن قضايا المسلمين في بلده، وتحصيل مكتسبات الأقليات الدينية والدنيوية، وتعزيز دورهم في مواقع التأثير، والتعاون مع أهل الاعتدال والإنصاف لتحقيق التعاون القائم على الحق والعدل، وذلك وفق الضوابط الآتية:
أولاً: أن يقصد المشارك من المسلمين بمشاركته الإسهام في تحصيل مصالح المسلمين، ودرء المفاسد والأضرار عنهم.
ثانياً: أن يغلب على ظن المشاركين من المسلمين أن مشاركتهم تفضي إلى آثار إيجابية، تعود بالفائدة على المسلمين في هذه البلاد؛ من تعزيز مركزهم، وإيصال مطالبهم إلى أصحاب القرار، ومديري دفة الحكم، والحفاظ على مصالحهم الدينية والدنيوية.
ثالثاً: ألا يترتب على مشاركة المسلم في هذه الانتخابات ما يؤدي إلى تفريطه في دينه.
والله ولي التوفيق وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه.
Sumber:
Dari homepage resmi Liga Muslim Sedunia, dan ini adalah fatwa resmi dari mereka.
http://www.themwl.org/Fatwa/default.aspx?d=1&cidi=167&l=AR&cid=17
Lihat pula kumpulan fatwa dari Syaikh Salih Al-Munajjid (seorang ulama Saudi) tentang politik di:
http://www.islam-qa.com/en/cat/429
May 12, 2009 at 9:40 am
Kita sudah mafhum bahwa dalam Islam ada hal2 yang bersifat ushul seperti perkara akidah, sesuatu yang qath’i, & ijma umat. Kita tidak boleh menyelisihi hal tersebut kecuali bila kita ingin dikatakan sesat. Berbeda dengan hal/hal yang sifatnya furu.
Akan tetapi Islam merupakan agama universal yang diturunkan Allah sang pencipta “wasilatul hayyah/sarana kehidupan”, sehingga Iapun mengatur bagaimana kiranya ada kondisi dimana hambanya terpaksa harus melanggar perintahNya. Dalam agama ini kita mengenal “rukshah”. Rukshah diberikan apabila terdapat kondisi darurat.
Syaikh Qardhawi, dalam haramkah bunga bank, mengatakan batasan darurat ada tiga yaitu bahwa kondisinya seperti kondisi orang yang harus terpaksa memakan babi & tidak ada jalan lain kecuali memakan babi, harus berdasarkan fakta & data yang kuat dan bukan prasangka, serta hasil hukum dari kondisi darurat tidak mengubah hukum.
Dalam konteks pemilu & demokrasi, Dalam Al Qur’an & As Sunnah telah Qath’i tentang kafirnya (kafir amaliah) apabila seseorang berhukum dengan hukum selain hukum ALlah. Al Imam Ibnu Katsir menukil adanya ijma umat apabila seseorang berhukum dengan hukum selain hukum Allah adalah kafir. Tentunya ini bila ia meyakini & tanpa paksaan.
Akan tetapi, kondisi kaum muslimin saat ini tidaklah sekuat dahulu. Di beberapa negeri kaum muslimin telah beralih dari negeri dengan sistem Islami menjadi kuffar. Oleh karena itulah kita temukan banyak fatwa yang membolehkan masuk parlemen. Syaikh Ali Hasan membolehkan ikut pemilu di Iraq, Syaikh ALbani membolehkan di Aljazair, dll. Dan yang baru saja dipost oleh Mas edi adalah Liga Muslim Sedunia.
Sebagai muslim kita dituntut untuk mengikuti ALlah & Rasulnya dan bukan taklid pada sekelompok ulama. Telah masyhur ucapan Imam yang 4 bahwa apabila hadist itu shahih maka itulah mazhabku atau buang jauh2 pendapatku apabila bertentangan dengan hadist yang shahih.
Karena itu, menurut saya dalam menyikapi masalah ini ada dua hal:
1. Kita tidak boleh sampai lengah apalagi rela berhukum dengan hukum selain hukum Allah/demokrasi. Kalaupun terlibat di dalamnya, jangan sampai kita berpikiran bahwa itu benar pada asalnya karena hal itu adalah sesuatu yang telah Qath’i keharamnya.
2. Apakah kita akan ikut memilih/tidak. Tentunya dikembalikan kepada kita apakah kita merasa bahwa kita berhak memperoleh rukshah/kondisinya darurat. Tapi yang harus kita ingat parameter daruratnya adalah parameter syar’i bukan hawa nafsu/prasangka .
Semoga ALlah memilihkan & menetapkan kita semua di atas jalan syar’i, jalan yang ditempuh oleh orang2 yang Allah ridha padanya & merekapun ridha pada Allah.
May 14, 2009 at 3:57 am
Mas Edi semoga Allah merahmati anda,
Mungkin antum lupa pelajaran bab takfir. Kafir dibagi dua yaitu kafir amaliah & kafir itiqadiyah. Kafir amaliah tidak membuat seseorang keluar dari agama kita.
Dalam konteks berhukum dengan hukum selain hukum Allah, tafsiran kafir amaliah adalah tafsiran Ibnu Abbas, sahabat Nabi yang diakui kredibilitasnya dalam menafsirkan Al Qur’an ketika ditanya mengenai ayat Al Maidah 44. Berikut ini saya berikan linknya mungkin mas Edi tertarik untuk membacanya.
http://perisaidakwah.com/content/view/83/26/
Lalu Mas Edi, ayat yang antum bawakan tentunya shahih karena tidak ada ayat yang tidak shahih. Al Qur’an mutawatir keberadaannya & itu perkara qath’i yang bila orang tidak meyakininya bisa membuat sesat. Ayat Al Imraan 28 yang mas kutip itu justru menguatkan tidak bolehnya berdemokrasi karena demokrasi kan mengharuskan kita tidak memandang bulu apakah pemimpin kita orang kafir atau tidak.
Mas Edi, kita harus membedakan hukum asal & pokok dalam agama yang tidak mungkin berubah sepanjang masa dengan hukum2 yang diperoleh karena ijtihadiyah yang mungkin dipengaruhi oleh kondisi politik dll. Hukum asal & poko dalam agama tidak akan berubah sementara hukum yang dapat dipengaruhi oleh politik dll mungkin berubah.
Berhukum dengan selain hukum Allah pada asalnya haram & itu sudah disepakati umat. Akan tetapi seperti yang saya sebutkan pada tulisan saya sebelumnya ada kondisi yang tidak memungkinkan kita tidak berhukum dengan hukum Allah karenanya ada konsep “rukshah”. Tapi rukshah itu tidak membuat hukum asal berubah.
Sehingga apabila kita ingin berdiskusi, tentunya berada dalam tataran adakah kondisi yang membuat kita memperoleh rukshah bukan mempertanyakan hukum asal. Jadi mana yang ingin kita diskusikan? Kalau yang kedua, afwan saya tidak berani tapi kalau yang pertama mudah2an diskusi kita bermanfaat.
Mas Edi, budaya taklid adalah budaya yang tidak baik akan tetapi budaya berbicara tanpa ilmu juga tidak baik. Seandainya saya mengutip pendapat Ulama itu karena saya mengamalkan ayat al Qur”an QS. An Nahl ayat 43 & QS Al-Furqan ayat 59 yang menyuruh kita bertanya pada orang2 yang mengetahui.
Dan mafhum bagi kita, seseorang yang tidak bisa berbahasa arab, tidak tahu ushul fikih, musthalahul hadist, ushul tafsir, dll tentunya amat arogan bila berbicara tanpa bertanya pada yang menguasainya dan saya merasa saya orang yang seperti itu.
May 14, 2009 at 4:00 am
Mas hamba Allah semoga Allah merahmati anda,
Mas, saya paham perasaan anda tapi mohon diperhatikan adab dalam menasehati seseorang apabila orang tersebut berlainan pendapat dengan kita. Boleh jadi orang itu memang tidak tahu.
Jangan sampai kita ingin menyampaikan kebenaran tapi justru dengan cara2 yang kurang tepat.
Silahkan antum baca “Panduan Kebangkitan Islam” karya Syaik Utsaimin dalam hal ini atau antum search nasehat Syaikh Rabi untuk para pemuda yang menisbatkan dirinya pada manhaj Salaf.
May 14, 2009 at 6:56 pm
cut …
>>>> Mas Edi, kita pisahkan antara terpaksa dengan rela sama demokrasi. Di postingan awal saya sudah sampaikan dua sikap saya. pertama, tidak rela dengan demokrasi. Kedua, kalaupun memilih karena terpaksa makanya saya berusaha mencari apakah ada kondisi yang membuat saya harus memilih.